33

204 30 0
                                    

"Kalau ini gimana?" Brizan memperhatikan gadis yang masih terdiam itu, membuatnya semakin cemas.

Rachel melirik Brizan lalu kembali menatap kamera. Brizan berfoto dengan spanduk kecil bertuliskan "I love you!". Rachel menarik napas panjang, mendadak jantungnya berdegup lebih cepat. Namun, ada sesuatu yang membuat dadanya sesak. "Maksud lo apa?" tanyanya setelah mampu mengasai diri.

Terpaksa Brizan mematikan kamera, agar lebih fokus berbicara dengan Rachel. "Lo tahu artinya, kan?"

Air mata Rachel menetes, senang karena lelaki yang disukai mencintainya juga. Namun, dia sadar tidak bisa memiliki Brizan. Rachel segera memeluk, membuat Brizan hampir kehilangan keseimbangan. "Kenapa lo cinta sama gue, Bri?"

Kedua tangan Brizan membalas pelukan Rachel. Dia menggeleng, tidak mampu menjawab. "Kalau gue tahu pasti gue jabarin sekarang."

Rachel mengeratkan pelukan, berharap jika ini mimpi terindahnya. Namun, dia sadar ini kenyataan yang diharapkan, tapi juga dia takuti. "Gue juga, Bri."

Tubuh Brizan kaku mendengar bisikan itu. Dia mengurai pelukan, menatap Rachel intens. Kedua tangan Brizan merangkum wajah di depannya. "Bisa lo ulangi?"

Lidah Rachel terasa kelu, meski dalam hati bisa mengulang tiga kata sakral itu. I love you. Dia menunduk dengan bahu bergetar. "Gue suka sama lo, Bri. Cuma itu."

"No! Bukan itu maksud gue, Sayang." Brizan butuh mendengar kata cinta. Dia berdiri, mengalihkan pandang sejenak. Bungkamnya Rachel membuat Brizan diliputi perasaan buruk. "Lo cuma suka aja ke gue? Cinta lo cuma buat Kak Billy?" ucapnya sambil menyampirkan kameranya di pundak.

Tidak ada jawaban.

"Makasih, Hel." Setelah mengucapkan itu Brizan menjauh.

Rachel menunduk dengan napas tercekat. Andai dia bisa mengkatakan sesuai dengan hatinya, mungkin sekarang dia tengah bahagia dalam pelukan Brizan. Rachel mengangkat wajah, mengedarkan mencari keberadaan Brizan. Dia melihat Brizan berjalan ke arah pantai, dengan cepat dia mengejar. "Bri!"

Samar-samar Brizan mendengar teriakan itu. Namun, dia memilih tidak menghiraukan, hatinya sekarang masih sakit. Brizan melangkah menuju pantai, ingin meluapkan rasa kecewanya di tempat yang tidak berujung. "Aaaaa!"

Dari kejauhan Rachel melihat apa yang dilakukan Brizan. Dia berlari mengejar dan memeluk Brizan dari belakang. "Hiks...." Dia mulai menangis sesenggukan.

Pelukan itu membuat teriakan Brizan yang hampir keluar terhenti. Dia menunduk, melihat tangan kurus memeluknya erat. "Tinggalin gue. Jangan bikin hati gue sakit."

Rachel tidak mengindahkan itu. Dia terus memeluk tubuh di depannya dengan erat. "Gue juga sakit, Bri."

Kedua alis Brizan hampir bertaut. Dia menyentuh kedua tangan Rachel dan menjauhkannya dari perut. Brizan lalu berbalik, mendapati Rachel yang tengah menunduk. "Kenapa lo sakit? Lo sama sekali nggak suka gue."

Mendengar ucapan itu hati Rachel teriris. Dia menggeleng pelan, membuat Brizan semakin bertanya-tanya.

"Apa maksud lo?" tanya Brizan lelah. "Oh, kasihan sama gue? Udahlah anggep gue nggak pernah nyatain perasaan gue." Setelah mengucapkan itu Brizan berjalan menjauh. Dia butuh suasana tenang untuk meluapkan patah hatinya.

Di posisinya, Rachel menatap kepergian Brizan. Dia kembali mengejar dan memeluknya dari belakang.

"Rachel! Lo keras kepala banget, sih!" Brizan menghela napas panjang. Dia menarik kedua tangan Rachel, tapi pelukan itu semakin erat. "Jangan kayak gini. Gue makin sakit."

"Sama." Rachel menjawab dengan suara serak.

"Apanya yang sama?"

Rachel melepas pelukan. Brizan langsung menoleh. Rachel mendongak menatap mata tajam Brizan. "Bri."

The ConquerorWhere stories live. Discover now