26

220 31 0
                                    

"Kalau gue jadi suami, pasti lebih siaga dari suami manapun!"

Billy sontak menoleh, memperhatikan adiknya dengan saksama. "Lo mau nikah?"

"Tentu." Brizan menjawab sambil menatap Rachel. Sayangnya, gadis itu membuang muka. Padahal, dia ingin tahu apa yang akan terjadi jika matanya bertemu pandang dengan Rachel.

"Sama siapa?" tanya Billy penasaran.

Rachel menunduk, merasakan dadanya yang semakin terasa sesak. Dia memaksakan senyuman saat Billy menatapnya. Setelah itu menatap Brizan. "Meda?" tebaknya.

Terpaksa Brizan memutuskan pandang. Dia mendekat dan mencium puncak kepala Rachel. "Gue balik dulu, ya," ucapnya tanpa menjawab pertanyaan.

Selepas kepergian Brizan, rasanya Rachel ingin berteriak. Namun dia hanya bisa menahan karena masih ada Billy di sampingnya.

"Brizan sekarang pacaran sama Meda?" tanya Billy ingin tahu.

Rachel mengangkat bahu. Dia hanya dengar Meda akan memperjuangkan Brizan. Entah bagaimana tanggapan Brizan, dia tidak tahu. "Nggak tahu, Kak. Mereka nggak cerita."

"Sok main rahasia-rahasiaan," ucap Billy sambil kembali menyuapi Rachel.

Respons Rachel hanya senyuman, meski sebenarnya ingin menangis sekarang juga.

***

Rachel berbaring di sofa dengan bosan. Kepalanya terasa berat dan tubuhnya masih lemas. Namun, ada yang jauh lebih menyiksa, yaitu hatinya. Dia menyentuh dada, mencoba menyelami apa yang dirasakan sekarang.

Tet.... Bel apartemen tiba-tiba berbunyi.

Rachel dengan malas bangkit menuju pintu. Tadi, Billy meninggalkannya karena ada meeting. Apa mungkin lelaki itu kembali lagi? Rachel membuka pintu dan mendapati seorang lelaki yang menatapnya tajam. "Apa?"

Brizan maju selangkah. Dia menyentuh kening lalu leher Rachel yang masih terasa hangat. "Lo sakit apa?" tanyanya sambil menarik tangan Rachel. Dia mengajak gadis itu menuju kamar dan membantu berbaring di ranjang.

Tidak ada protes apapun dari Rachel. Dia berbaring sambil terus menatap Brizan. "Ngapain balik lagi ke sini?"

"Sebenernya gue nggak bener-bener pergi." Brizan menatap Rachel, sedih melihat gadis yang ceria itu mendadak menjadi pendiam. "Gue nunggu di kafe bawah. Waktu lihat Kak Billy keluar gue langsung ke sini."

"Gue nggak apa-apa, Bri!" Rachel membuang muka. Berdekatan dengan Brizan membuat perasaan aneh itu muncul. Sekaligus rasa sakit di tenggorokan itu kembali menyiksa. "Lo balik aja ke kantor."

Brizan menggeleng tegas. "Gue nggak akan biarin orang yang lagi sakit sendirian."

"Gue nggak kenapa-napa." Rachel menatap Brizan memohon.

"Enggak! Gue bakal di sini." Brizan bergeser mendekat lalu mengusap puncak kepala Rachel. "Merem. Lo harus tidur."

Rachel mengembuskan napas. Dia mencoba memejamkan mata sambil merasakan usapan lembut Brizan yang entah kenapa membuatnya ingin menangis.

***

Meda membuka pintu tak sabaran. Dia bergegas ke kamar lalu duduk di pinggir ranjang. Tangannya terulur ke kening Rachel yang tidak lagi terasa hangat. Meda menghela napas lega.

"Lo udah pulang?" tanya Rachel karena tidurnya terganggu.

Senyum Meda mengembang. Dia memperhatikan mata Rachel yang masih terlihat sendu itu. "Iya. Gimana keadaan lo? Udah ke dokter?"

Rachel menggeleng, merasa baik-baik saja. Hanya saja dia sangat tidak mood. "Enggak. Dibuat tidur juga sembuh."

Meda mengusap lengan sahabatnya naik turun. Sejak dulu dia paling tidak bisa melihat Rachel sakit, apalagi jika gadis itu mengigau memanggil sang mama. Hati Meda langsung tersentuh dan ikut merasakan penderitaan Rachel. "Lo habis makan apa, sih? Makan makanan asem, lo kan paling nggak kuat?"

The ConquerorWhere stories live. Discover now