55

175 19 0
                                    

Setelah berenang dua kali putaran, Rachel merasa tubuhnya benar-benar relaks. Sekarang dia mengambang membiarkan air membawanya bergerak perlahan. Matanya kemudian tertutup menikmati suasana yang begitu tenang.

Tiba-tiba Rachel teringat hubungannya dengan Brizan dan Billy. Dia yakin dua orang itu pasti bersitegang. Terlebih, dia yang masih belum sepenuhnya memberi maaf untuk Billy. Dia tidak tahu harus bersikap bagaimana jika hubungannya dengan Brizan serius.

Apa mending gue putus?

Napas Rachel memburu. Dia mengembuskan napas, tidak ingin mengakhiri hubungannya. Namun, di satu sisi dia membayangkan jika kelak menikah dengan Brizan, tapi tidak memiliki hubungan baik dengan kakak iparnya. Jelas itu akan terasa aneh. Selain itu dia tidak ingin membuat Brizan berada di posisi sulit.

Rachel mengembuskan napas dengan kasar. Dia tetap mengapung sambil terus berpikir. Tiba-tiba ada yang menarik tangannya sekuat tenaga. Rachel kehilangan keseimbangan, lalu refleks kakinya bergerak dengan cepat. Dia mengernyit, melihat Brizan berada di depannya dengan wajah memerah. "Ngapain ganggu gue?" Dia benar-benar kaget oleh tindakan lelaki itu.

Brizan menatap Rachel yang terlihat marah. "Gue nolongin lo!"

"Gue nggak butuh ditolong!" Rachel menyentuh dada yang berdegup kencang, masih kaget karena teriakan Brizan barusan.

Napas Brizan memburu. "Gue pikir lo mati tahu nggak!"

Kalimat itu membuat Rachel tersentak. Dia memperhatikan mata Brizan yang memerah dan rahangnya mengeras. "Bri...." Rachel hendak menggapai, tapi lelaki itu menjauh. "Bri... Gimana kalau putus?" Kalimat itu tiba-tiba terlontar.

Brizan menoleh, menatap Rachel yang menggigit ujung bibir. "Putus?" tanyanya dengan ada tinggi. "Udah dipikirin?"

Rachel terlihat ragu. Dia mengusap wajah, menghilangkan tetasan air yang terasa mengganggu. "Gue rasa lo bakal ada di posisi sulit."

"Udah mikirin posisi gue?" tanya Brizan tajam.

"Emm...."

Brizan mendengus. Dia berenang ke arah pinggir lantas naik. Setelah itu dia berjalan keluar tanpa menunggu Rachel. Dia tahu Rachel sedang kacau dan belum bisa berpikir jernih. Karena itu dia meninggalkan Rachel untuk menenangkan diri.

Sedangkan Rachel menatap kepergian Brizan dengan air mata yang mulai menggenang. Dia memukul air di depannya hingga beberapa cipratan mengenai wajah. "Sial! Apa, sih, yang gue pikirin!" Dia memukul kepala beberapa kali.

Rachel keluar dari kolam, memakai handuk lantas berlari mengejar Brizan. Dia berharap lelaki itu masih berada di depan lift, sayangnya lorong itu kosong. Dia melangkah cepat lalu menekan tombol lift tidak sabaran.

Sedangkan di tempat lain, Brizan masuk apartemen sambil melepas kemejanya yang basah. Dia membuangnya asal lantas menuju dapur. Dia mengambil air mineral dan menegaknya dengan kasar. Baginya, dia harus menghilangkan emosi sebelum bertindak di luar kendali.

"Rachel lagi nggak tenang." Brizan menggumamkan itu sambil meremas botol air mineral. Dia menatap depan dengan sorot tajam. Sungguh, tidak menyangka Rachel mengucapkan kalimat itu. Putus?

Tet....

Pikiran Brizan putus mendengar suara bel apartemen. Dia mengembuskan napas kasar lantas membuka pintu. Saat matanya bertemu pandang dengan Rachel, dia segera berbalik dan berjalan menuju kamar.

Rachel hendak menggapai, tapi Brizan lebih dulu pergi. Dia melangkah masuk lantas ke kamar. Namun, perasaan mengganjal itu masih menggerogoti hatinya. Dia keluar dan berdiri di depan kamar Brizan. "Bisa ngomong sebentar?"

The ConquerorWhere stories live. Discover now