53

184 22 0
                                    

Rachel hanya menurut saat Brizan mengajaknya ke kantor Birzy. Gadis itu masih diam, sambil pikirannya terus tertuju ke sang papa. Dia membayangkan, andai tadi tidak datang menemui papanya, entah bagaimana nasib lelaki itu. Rachel yakin, pasti akan mengalami penyesalan yang teramat.

"Hati-hati...." Brizan merangkul Rachel lantas menaiki anak tangga. Setelah itu dia membimbing Rachel menuju ke bagian paling tengah. "Aku sama Brizan dulu sering ke sini sambil nunggu papa kerja."

Tidak ada respons dari Rachel. Dia melirik ke kiri dan ke kanan, mendapati rooftop yang terdapat beberapa pot bunga di dekat pinggirannya. Kemudian pandangannya tertuju ke dua buah kursi malas dan sebuah meja kecil. "Kamu sering ke sini?"

Brizan menggeleng pelan. Dia mengedarkan pandang, cukup kaget karena rooftop terlihat lebih terawat. Sepertinya Birzy sudah kembali menghabiskan waktu luangnya di tempat ini. "Nggak juga." Dia menggenggam tangan Rachel dan mengajaknya duduk di kursi malas.

Rachel duduk bersandar lalu mendongak menatap langit yang begitu gelap. Angin berembus cukup kencang memainkan rambut panjangnya. Dia merasa sebentar lagi akan turun hujan. "Gue harus gimana, Bri?"

Brizan memperhatikan Rachel yang masih terlihat sedih. "Coba nenangin diri dulu. Jangan sampai ambil keputusan gegabah."

"Hmm...." Rachel mengangguk pelan. Dia menarik napas panjang saat dadanya kembali sesak. "Kalau lo jadi gue, apa yang lo lakuin?" Dia menatap Brizan ingin tahu.

Pertanyaan itu terasa sulit bagi Brizan. Dia tidak ingin salah bicara dan membuat Rachel semakin merasa bersalah. "Kalau aku nenangin diri dulu. Baru setelah bener-bener tenang, ambil keputusan."

"Gue jadi pengen kabur." Rachel kembali menatap langit.

"Jangan. Aku nggak mau ngajarin kamu kabur-kaburan." Tangan Brizan menyentuh lutut Rachel dan mengusapnya pelan. "Di sini aja dulu sampai kamu benar-benar tenang."

Rachel mengangguk. Dia duduk miring, menyandarkan pipi di kepala kursi. Tiba-tiba bayangan masa lalunya menyeruak. Saat dia masih bersama kedua orangtuanya. "Gue bener-bener kesepian."

Brizan tidak menjawab. Sebagai gantinya dia merapikan anak rambut dan mengusap puncak kepala gadis itu.

"Gue bener-bener takut kalau papa tiba-tiba pergi," ujar Rachel dengan napas tercekat. "Waktu papa kirim dokumen itu, gue bener-bener ketakutan. Karena itu, gue ungkapin dengan kemarahan. Sekarang gue nyesel, papa pasti sakit hati banget."

Tenggorokan Brizan terasa tercekat. Dia yang tidak mengalaminya saja ikut merasa pusing. Apalagi, Rachel yang telah mengalami hubungan kurang baik itu bertahun-tahun. "Hei. Lihat sini."

Rachel mengubah posisi duduknya. Dia berbalik menghadap Brizan dan mendapati lelaki itu tersenyum. Sayangnya, kali ini Rachel tidak tertular senyuman itu.

"Berbuat salah itu wajar. Menyesal itu juga wajar." Brizan mengucapkan itu sambil mengusap air mata Rachel yang mulai turun. "Yang bikin beda, apa kita mau ubah kesalahan dan penyesalan itu atau enggak."

Napas Rachel tercekat. Dia menelan ludah untuk mengurangi rasa sakit itu. "Gitu?"

"Ya...." Brizan mengangguk pelan. "Wajar seorang anak berbuat salah ke orangtuanya, begitu juga sebaliknya. Kita masih punya kesempatan buat ubah itu." Setelah mengucapkan itu Brizan menengadah.

Rachel terus memperhatikan Brizan. "Menurut lo masih bisa diperbaiki?"

"Hmm...." Brizan mengangguk. "Bokap gue udah nggak ada. Dulu gue sering berantem dan nggak mau ngalah. Tapi, kalau bokap udah nggak ada penyesalan itu bener-bener terasa, Hel. Gue nggak mau lo ngerasain hal yang sama." Brizan kembali menatap Rachel. Tangannya terulur lalu mengusap kening Rachel.

The ConquerorWhere stories live. Discover now