crusher : 16

8.4K 1.7K 353
                                    

Arin sama sekali nggak nyaman sama keadaannya sekarang. Dia nggak terbiasa jalan berdua sama cowok sepanjang koridor sekolah, apalagi orangnya adalah Jay. Jadi pusat perhatian hampir seluruh siswa yang mereka lewatin, Arin rasanya mau tenggelam aja sekarang.

Sekolah bubar sepuluh menit yang lalu. Arin terpaksa nyuruh Jungwon buat pulang duluan karena Jay yang mendadak bilang kalau mereka bakal pulang bareng, karena hari ini Papa Jay yang jemput. Arin makin dibuat bingung sama keluarga cowok di depannya ini. Kenapa sekarang Arin seolah makin ditarik masuk?

"Nanti nggak usah cari muka di depan Papa." Pesan Jay begitu mereka udah sampai di depan gerbang. Mobil hitam terparkir disana.

Arin di belakangnya mengangguk tipis, meski tau Jay nggak bakal liat.

Jay yang mendadak berhenti bikin Arin nggak sengaja nabrak punggung cowok itu. Buru-buru mundur begitu Jay balik badan.

"Nggak ngerespon?"

Arin gugup. "Gue ngangguk kok, tadi."

Jay nahan kepalannya di udara. Kalau aja posisi mereka masih jauh dari mobil, Jay udah pasti bakal narik rambut cewek ini saking geramnya. Tapi mendadak kepalan tangan itu terbuka, mendarat di atas kepala Arin dengan dua kali usapan.

"Lain kali pake mulut, oke?" Desis Jay.

Arin yang masih bingung sama keadaan berkedip berkali-kali. "O-oke."

Cowok itu akhirnya jauhin jarak dan melangkah ke arah mobil. Diikuti Arin di belakang, berusaha bersikap biasa aja pas ketemu sama Papa Jay nanti. Ini kali keduanya ketemu sama beliau.

Pintu mobil dibuka, Jay buka pintu paling depan tepat di samping bangku kemudi. Dan Arin duduk di bangku belakang, sendirian, dengan rasa gugup yang mendadak makin naik ke kepala.

"Jay,"

Cowok itu hendak duduk begitu namanya dipanggil. "Iya, Pa?"

Responnya kelewat lembut sampai Arin heran sendiri. Apa Jay memang begini kalau di depan Papanya?

"Duduk di belakang, temenin Arin." Lanjut Papa Jay dengan senyum ramahnya. Mereka berdua keliatan beda banget dari kesan awal yang Arin ambil. Lebih hangat, mungkin? Pokoknya dibanding dua orang yang sering terlibat perselisihan, mereka bener-bener keliatan normal sebagai ayah dan anak pada umumnya.

Jay ngelirik ke arah Arin dengan raut yang berubah nggak enak.

"Oke." Final Jay. Dengan berat hati pindah tempat duduk ke samping Arin. Mereka saling adu pandang sebelum Jay akhirnya mutus kontak mata mereka.

"Jangan berantem di belakang. Papa bisa liat." Ujar Papa Jay dengan nada candaan. Jay mendengus sedangkan Arin cuma bisa balas dengan senyum kaku.

Sebenernya ini ada apa, sih?

Mobil mulai jalan dan ninggalin kawasan sekolah. Jay sibuk buat nyari posisi nyaman di duduknya, bikin Arin diem-diem ngerasa risih. Cowok itu terus gerak kesana-kemari, mindahin tasnya ke depan dan ke belakang.

Arin hela napasnya, beraniin diri buat buka suara. "Kenapa?"

Jay noleh kaku, "hah? Nggak, cuma panas."

Arin ngedarin pandang ke atas atap mobil. Tangannya terangkat buat buka AC jadi lebih lebar. "Udah?"

Jay natap Arin heran. Tapi akhirnya dia ngangguk setelah dapat posisi yang lebih nyaman. "Udah, makasih." Well, ini cuma pencitraan Jay di depan Papa aja.

Mereka hening beberapa saat sampai akhirnya Jay sadar, kalau jalan yang mereka lewatin nggak sama kayak jalur yang biasa mereka lewatin untuk sampai di rumah Jay. "Pa, ini nggak pulang dulu? Papa mau mampir beli sesuatu?"

Crusher [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now