crusher : 31

7.8K 1.5K 329
                                    

Jay buru-buru buat sampai ke rumahnya. Selama hidupnya, Jay nggak pernah ngerasa se-terusik ini. Banyak pertanyaan di kepalanya yang bikin dia mendadak punya kecemasan berlebih. Spekulasi buruk juga ikut bertumpuk, tapi Jay berkali-kali nepis satu persatu spekulasinya. Karena bayanginnya aja udah bikin Jay takut setengah mati.

Setelah parkir motor di garasi, Jay pacu langkahnya buat masuk ke dalam rumah, yang seperti biasa dalam keadaan sepi. Pikirnya, jam ini memang bukan jam normal buat Papanya pulang dari kantor.

Jadi, setelah nenangin diri dengan minum air dingin, Jay naik ke tangga atas buat menuju kamarnya. Berniat istirahat sebentar sebelum nemuin Papa buat minta jawaban dari pertanyaan yang daritadi dia simpan.

Tapi belum genap langkah Jay tepat sampai di depan kamarnya, pintu ruangan lain yang ada di sebelah kamarnya terbuka tiba-tiba. Papa keluar dari sana dengan pakaian santai, dan raut yang juga sama santainya.

Ini nggak sesuai sama perkiraannya.

"Papa udah pulang?" Jelas tatapannya nunjukkin kalau dia bingung sekarang.

"Papa nggak kerja, lagi nggak enak badan."

Kalau nelisik penampilan Papa, Jay berhasil diyakinin sama jawaban Papa barusan. Pakaiannya memang keliatan kusut, khas orang yang seharian cuma ngabisin waktunya di kasur.

"Daritadi ngga keluar rumah?"

Alis Papa berkerut. "Ini lagi perhatian apa gimana?" Tawa kecilnya menguar. "Dari kamu berangkat sekolah Papa di rumah aja, nggak kemana-mana. Emang kenapa?"

Sedikit Jay salah tingkah. Tangannya makin kuat cengkram tali tas. "Nggak. Aku kira Papa tadi keluar rumah, soalnya abis liat orang mirip Papa di jalan."

Lebih tepatnya itu tebakan Jay soal tamu yang datang ke rumah Arin tempo jam lalu. Padahal beberapa menit sebelumnya dia udah yakin banget kalau orang itu Papa, sekejap itu Jay berubah ragu.

"Udah makan?"

Papa nggak ngerespon pakai suara. Cuma langkahin kakinya buat lebih dekat ke arah Jay dengan senyum rentanya. Jay sukses dibuat kaku begitu telapak tangan Papa mendarat di kepalanya, disusul usapan pelan berkali-kali.

"Coba dari dulu kamu gini."

Mata Jay berkedip, rautnya polos. "Gini gimana?"

"Ya gini, perhatian sama Papanya, ngomong pelan, nggak kasar, nggak keras kepala."

Jay berdecak dan nepis tangan Papanya setengah kasar. Natap Papa dengan raut sinis, yang lagi-lagi malah dibales tawa kecil. Jay beralih ngelepas tasnya, ngeluarin sesuatu dari sana, dan langsung nyerahin benda itu ke Papa.

Respon Papa sesuai sama dugaannya. Dan itu bikin Jay sedikit puas walaupun gelisah lebih mendominasi. "Aku pinjem dari ruang kerja Papa."

Papa natap foto usang itu dan Jay bergiliran. Rautnya kaku, seolah benda yang Jay kasih barang bukti kejahatan. "Kamu tau ini siapa?"

Jay ngangkat bahunya acuh. "Itu Papa," tatapan sengitnya beralih ke foto yang ada di tangan Papanya. "Sama Mamanya Arin, bener?"

Nggak ada respon apapun, dan Jay cuma bisa ketawa sinis. "Aku mandi dulu, nanti malem aku mau ngomong sama Papa."

Setelah masuk dan nutup pintu kamar, Jay baru bisa bernapas normal. Perasaannya jadi makin kalut dan nggak enak. Pikirannya diinvasi sama satu nama; Arin.

______

Dua jam duduk di balkon kamar, Jay nggak ngelakuin hal apapun yang berguna selain melamun sambil terus mikirin banyak kemungkinan di kepalanya.

Crusher [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now