Chapter 21 : Bereave

1.7K 294 13
                                    


















Voldemort mulai mengamati tubuhnya sendiri. Tangannya seperti labah-labah besar kurus. Jari-jarinya yang putih panjang membelai dadanya sendiri, lengannya, wajahnya. Matanya yang merah, yang pupilnya seperti celah sempit, seperti pupil mata kucing, berkilau lebih terang menembus kegelapan. Dia mengangkat tangannya dan melenturkan jari-jarinya, ekspresinya penuh kegembiraan.

Dia sama sekali tidak mengacuhkan Wormtail, yang tergeletak menggeliat kesakitan dan berdarah di tanah, ataupun si ular besar, yang telah muncul lagi dan kembali mengitari Harry, mendesis-desis.

Voldemort menyelipkan salah satu tangan yang berjari panjang tak wajar ke dalam saku yang dalam dan menarik keluar tongkat sihir.

Voldemort mengarahkan matanya yang merah kepada Harry dan tertawa. Tawanya melengking, dingin, dan tanpa kegembiraan.

"Yang Mulia...." katanya Wormtail, "Yang Mulia... Anda berjanji... Anda sudah berjanji..."

"Ulurkan lenganmu," kata Voldemort malas-malasan. "Oh, Tuan... terima kasih, Tuan..."

"Lengan satunya, Wormtail." Kemudian dari ujung tongkat Voldemort yang diarahkan ke tangan Wormtail, tongkatnya menunjuk pada tanda pelahap maug di tangan Wormtail. Dan langit langsung mengeluarkan tanda kegelapan yang sama.


Dia berjalan mondar-mandir hingga sampai menemukan jasad Cedric dibawahnya, dengan kakinya ia menggeser kepala Cedric kekiri. "Anak tampan yang malang," katanya penuh remeh.

"Jangan sentuh dia!" Teriak Harry.

"Harry. Oh, aku hampir lupa kau disini. Kau berdiri, Harry Potter, di atas sisa jenazah ayahku," dia mendesis pelan.

"Muggle yang tolol... sangat mirip ibumu. Tetapi mereka berdua berguna, kan? Ibumu meninggal karena membelamu... dan aku membunuh ayahku, dan lihat betapa bergunanya dia ternyata, dalam kematiannya..."

Voldemort tertawa lagi. Dia berjalan hilir-mudik, memandang ke sekelilingnya, dan ularnya terus melingkar-lingkar di rerumputan.

"Kau lihat rumah di sisi bukit itu, Potter? Ayahku dulu tinggal di sana. Ibuku, penyihir yang tinggal di dusun ini, jatuh cinta kepadanya. Tetapi ayahku meninggalkannya ketika ibuku memberitahunya siapa dia sebetulnya... Ayahku tak suka sihir..."

"Dia meninggalkan ibuku dan kembali ke orangtua nya yang Muggle bahkan sebelum aku lahir, Potter, dan ibuku meninggal sewaktu melahirkan aku, meninggalkanku untuk dibesarkan di rumah yatim-piatu milik Muggle... tetapi aku bersumpah untuk menemu kan ayahku... aku membalas dendam kepadanya, si tolol yang memberikan namanya kepadaku... Tom Riddle..."

Masih saja dia mondar-mandir, mata merahnya berpindah dari satu makam ke makam yang lain.

"Dengarkan aku, menceritakan kisah keluargaku..." katanya pelan, "aku jadi sentimental... Tapi lihat, Harry! Keluargaku yang sebenarnya kembali..."

Keheningan mendadak dipecahkan oleh kibasan jubah. Di antara makam-makam, di belakang pohon cemara, di semua tempat remang-remang, penyihir-penyihir ber-Apparate. Semuanya berkerudung dan bertopeng. Para pelahap maut mulai berdatangan entah darimana asalnya.

Dan satu demi satu, mereka maju... perlahan, hati-hati, seakan mereka hampir tak mempercayai mata mereka.

Voldemort berdiri diam, menunggu mereka. Kemudian salah satu Pelahap Maut jatuh berlutut, merangkak mendekati Voldemort, dan mencium ujung jubahnya.

"Tuan... Tuan...." dia bergumam.

Para Pelahap Maut di belakangnya melakukan hal yang sama. Masing-masing mendekati Voldemort dengan berjalan sambil berlutut dan mencium ujung jubahnya, sebelum mundur lagi dan berdiri,
membentuk lingkaran dalam diam, mengelilingi makam Tom Riddle.

Verlyndie [Draco Malfoy FanFiction] ✅Where stories live. Discover now