31. Jaga Mata! 🔪

29.3K 3.4K 684
                                    

HAPPY READING
VOTE DAN KOMEN JANGAN LUPA!!

Diam. Febri hanya diam memperhatikan Vani yang duduk di hadapannya.

"Aku nggak bisa ih, masak nasi goreng aja ya?" Vani memohon, masa dirinya di suruh masak soto, ya kali, ia tak bisa.

"Ya, ya, ya?" Vani menangkup wajah Febri, memasang wajah memelasnya yang membuat Febri tak tahan ingin mencium gadis itu, tapi ia kan lagi di dalam mode marah, nggak elit banget marah terus nyium.

"Febri?" Vani bangkit dari duduknya. Ia pindah ke pangkuan Febri. Berusaha untuk membuat cowok itu tak marah.

"Kak, ayah sama bunda mau ke rumah kakek, kamu jagain Tasya ya? Anak itu nggak mau ikut." Kemunculan Rafa yang tiba-tiba membuat Vani terlonjat kaget dan sontak turun dari pangkuan Febri, ia malu, tapi Febri dengan cepat mencegahnya.

"I--ya," jawab Vani gugup, ia menyembunyikan wajahnya di dada bidang Febri sementara laki-laki itu hanya tersenyum tipis.

"Kaki kamu yang kena duri beneran udah gapapa? Mau dibawa ke dokter aja apa nggak?" Bukannya pergi, Rafa duduk di samping Febri menatap Vani yang gelisah. Ia tak bisa berbohong. Ya, saat ia berjalan dengan kaki tertatih ayahnya bertanya, ia menjawab terkena duri, mana mungkin ia bilang dihukum Febri, yang ada sepanjang kakinya di ukir oleh Febri.

"Udah, gapapa kok."

"Ya udah, ayah pergi dulu. Kamu hati-hati di rumah." Rafa bangkit dari duduknya mengusap rambut Vani. "Feb, jaga Vani. Awas kalau kamu ukir dia lagi!"

Febri mengangguk samar. Ia ragu untuk tak menyakiti Vani. "Iya."

Selepas Rafa pergi, Febri menatap Vani. "Kenapa bohong?" tanyanya dengan mengecup pipi Vani pelan.

"Kalau aku nggak bohong emang kamu nggak marah?" tanya Vani sedikit kesal. Ia menengadahkan wajah ke langit dengan kedua menggembung membuat Febri yang melihatnya merasa gemas.

"Imut banget sih. Jadi pengen makan pipi kamu." Febri mengunyel-ngunyel pipi itu dengan gemas membuat sang empu merengek.

"Febri ... ih." Perempuan itu semakin cemberut hingga membuatnya terlihat semakin lucu. Febri tertawa renyah.

"Nanti aja deh, masaknya. Aku masih kenyang," ujar Febri mengangkat tubuh Vani dengan lembut. Vani mengeryit bingung.

Kalau masih kenyang kenapa tadi nyuruh dirinya masak?!

Vani semakin kesal sementara Febri hanya tertawa melihat itu. Laki-laki itu terus melangkahkan kaki menuju ruang keluarga dengan Vani di gendongan Febri.

"Kita cuma berdua di sini, mau coba-coba nggak?" Febri membanting tubuh Vani di atas sofa dengan sedikit kasar. Maklumi saja, ia tak bisa bersikap lembut.

"Coba apa?" tanya Vani meringis pelan karena luka di punggungnya yang belum sepenuhnya sembuh.

Febri tak menjawab. Ia tersenyum miring, menatap Vani dengan tatapan yang membuat Vani merasa was-was.

"Aaa, Febri!" Vani memekik kaget saat tiba-tiba Febri menindih tubuhnya. Alarm bahaya seolah berbunyi, menyuruhnya untuk cepat pergi, tetapi pergerakan diblok oleh Febri.

Wajah Vani mendadak pucat saat melihat Febri menyeringai. Seringai itu masih terus menjadi suatu yang ia takuti dari awal bertemu Febri. Seringai dan tatapan penuh kepemilikan selalu membuatnya merasa bagaikan tersengat oleh listrik bertegangan tinggi.

"Ka--mu maa--u apa, Feb?"

Sial! Vani meruntuk dirinya yang malah terbata. Bukan apa-apa, perkataannya yang terbata itu semakin membuat Febri yang kini berada di atasnya tersenyum menang.

Possessive and Psycho Boyfriend [REPOST]Where stories live. Discover now