38. Rumah Daniel (2)🔪

23.7K 3K 1.1K
                                    

[Bawa mereka ke rumahku!]
[Berbagi kesenangan itu akan membuatmu mendapat pahala, Feb.]

Febri terkekeh pelan saat membaca pesan dari ayahnya Daven itu. Laki-laki itu walau sudah tak muda lagi, tapi jiwa malaikat mautnya masih terus meronta-ronta.

[Baiklah, Paman.]

Setelah memberikan balasan pesan itu. Febri memasukkan handphone-nya ke dalam saku.

Wajah damai Vani saat gadis itu kembali tertidur kini merebut seluruh perhatiannya.

Febri mengulurkan tangannya. Diangkatnya tubuh Vani dengan mudah dan dipangkunya tubuh gadis itu.

"Cantik." Febri mendekatkan wajahnya. Bibirnya menempel sempurna di pipi Vani untuk durasi yang cukup lama.

"Aku mencintaimu. Sangat ...," bisik Febri. Kedua tangannya melingkar di pinggang Vani cukup erat. Kepala gadis itu bersandar pada dadanya. "Maaf, aku tak bisa menjadi seperti apa yang kamu inginkan, tapi aku sungguh mencintaimu."

Febri tahu, orang lain mungkin mengatakan dirinya hanya obesesi semata bukan tulus mencintai. Jika cinta, mana mungkin seseorang rela melukai kekasihnya hanya karena masalah sepele. Namun, setiap orang mempunyai cara yang berbeda bukan? Dan seperti inilah caranya mencintai Vani.

Luka-luka baru pada perut Vani yang baru saja ia buat tadi kini menjadi sesuatu yang Febri pandang dengan tatapan sendu.

"Maaf." Satu kata itu kembali keluar dari mulutnya. Ia semakin mendekap tubuh Vani erat-erat. "Jangan pernah pergi. Kau milikku, hanya milikku, dan selamanya akan tetap menjadi milikku." Kalimat itu terucap penuh ke-possessivan. Febri semakin merengkuh tubuh Vani untuk kesekian kalinya.

Biarlah jika Vani akan kesusahan bernapas. Ia bisa membantu gadis itu bernapas nantinya.

Apa yang ia rasakan dari awal bertemu dengan Vani sampai sekarang masih sama. Jantungnya selalu menggila di dalam sana. Berdetak dengan cukup kuat membuat dirinya tak tahu apa artinya saat pertama kali merasakannya.
Yang jelas, ada suatu keinginan besar yang Febri rasakan saat itu. Keinginan memiliki Vani seorang diri.

"Nggak bisa napas, Febri ...," rengek Vani kesal tapi juga terdengar manja membuat pelukan Febri sedikit mengendur.

"Sejak kapan kamu bangun?" Febri menatap tajam. Tangannya kini beralih menyingkirkan anakan rambut yang menutupi wajah Vani.

"Kok natapnya gitu sih? Aku salah lagi ya?" tanya Vani menunduk takut. Ia menggerakkan tubuh hendak turun dari pangkuan Febri, tapi laki-laki itu lebih dulu mencegahnya.

Febri memperat kembali pelukannya. "Jangan gerak terus!"

"Emang kenapa?" tanya Vani memancing.

"Aku nggak mau ngerusak kamu." Febri memejamkan mata kesal ketika Vani malah gencar bergerak.

"Nggak ada hubungannya ngerusak sama aku gerak, Febri ...." Tawa Vani hampir meledak saat melihat wajah Febri yang memerah lantaran frustasi.

Duh enak banget memang balas dendam pakai cara seperti ini. Vani berpura-pura bahwa otaknya polos tidak tahu maksud Febri, padahal otaknya ini dari lahir juga kiri terus yang bekerja. Apalagi kalau dirinya dibawa Ican kumpul dengan para teman laki-laki itu, kepolosannya semakin terkikis, kiri terus pikirannya.

"Aku tau kamu nggak sepolos," erang Febri membuat tawa Vani pecah.

"Lucu banget pacar aku kalau kayak gini." Vani menepuk-nepuk pipi Febri pelan sebelum akhirnya dirinya kabur keluar dari mobil.

"Vani! Siapa yang nyuruh kamu keluar?!"

"Hati, Feb! Hati yang nyuruh!" balas Vani dengan berteriak. Dengan berlari ria ia memasuki kawasan rumah Daniel. Namun saat posisinya sudah dekat dengan dua cowok yang asik makan durian, langkah kaki Vani menelan.

Possessive and Psycho Boyfriend [REPOST]Where stories live. Discover now