22. Melepaskannya? 🔪

38.7K 4K 903
                                    

Vote sama komennya jangan lupa dong, biar sama-sama senang

Happy reading
.
.
.

Febri memejamkan mata dengan kedua tangan yang terkepal kuat. Daven yang berada di sampingnya bergumam pelan, tapi ia masih asik dengan kegiatannya yang sedang melakukan pembedahan pada seekor kucing yang tak sengaja tertabrak mobil tadi.

Tadi, ia tak sengaja melihat kucing itu tertabrak hingga akhirnya merenggang nyawa. Sekalian saja kucing itu menjadi objek kesenangannya malam ini, setidaknya kucing itu masih bermanfaat walaupun sudah mati.

"Apa perlu gua yang bunuh? Sahabat yang baik nggak bakal rebut pacar sahabatnya sendiri, terkecuali kalau orang itu sama kayak kita, Feb, yang nyaris nggak punya emosi." Daven membersihkan darah di tangannya dengan santai.

Febri diam tak bergeming. Ia membuka mata dan beralih menatap Daven. "Biarkan saja, aku ingin ikut denganmu saja. Melupakan semuanya. Bukankah melihat orang yang dicintai bahagia kita juga ikut bahagia?"

"Jangan terlalu munafik! Kenapa kau menjadi lemah hanya karena persahabatan tak berguna seperti itu? Aku tau, kau tak akan pernah merasa bahagia melihatnya bersama pria lain. Come on, Febri! Don't torture yourself."

Daven menghela napas sebentar. "Habisi mereka yang mencoba untuk merebut milikmu. She's only yours." Daven mendesis tajam membuat Febri menggeram kesal.

"Don't influence me," balas Febri tajam membuat Daven memutar bola matanya.

"Dady ingin membunuhku, Mom!" Daven tersenyum miring melihat ayahnya membulatkan mata saat baru saja memasuki rumah milik ayah Febri ini.

"RAKA!"

Suara ibunya yang menggema membuat tawa Daven hampir pecah. Melihat ibunya marah-marah pada sang ayah adalah tontonan yang sangat seru setelah film-film kesukaannya.

"AW, AKH! LEPAS, DED! INI SANGAT SAKIT!" Daven berteriak layaknya digores pisau oleh sang ayah membuat sebelah sudut bibir Febri terangkat.

"ASTAGA! DARAHMU SANGAT BANYAK, DAV!" teriak Febri mengikuti drama yang dibuat oleh Daven. Mereka bertos ria melihat wajah Raka yang tampak ingin menghabisi mereka berdua.

"AKH! HENTIKAN, DED. KAU BISA MEMBUNUHKU!"

Daven menjulurkan lidah dan langsung tertawa kala sebuah sepatu berhak tinggi menghantam tubuh ayahnya.

Febri tertawa melihat wajah Raka yang tengah memendam amarah.

"Terkadang aku sampai heran, kenapa saat lomba sperma kalian yang menang. Para manusia tidak berakhlak." Raka mencibir mengusap tubuhnya yang terasa sakit. Mau marah pada sang istri tapi tak tega, akhirnya dia diam saja.

"Aku rasa di sini cukup banyak cermin." Daven menatap sekelilingnya membuat Raka semakin merasa Daven itu bukan anaknya. Sangat tidak mencerminkan seorang Raka di masa muda.

"Waktu kecil saja pintar, sekarang bodohnya tidak berdasar." Raka kembali mencibir membuat Daven memasang wajah yang begitu membuat Raka sangat ingin menghabisi darah dagingnya sendiri.

"Mudanya saja kejam, tuanya bucin." Daven balas mencibir hingga dalam hitungan detik ia melompat kala sang ayah melemparkan pisau hingga hampir menusuk mulutnya.

"Orang tua tidak berakhlak." Daven menatap ayahnya sembari geleng-geleng kepala. "Feb, mari habisi orang tua tidak berguna ini. Aku rasa mommy-ku masih sangat cantik untuk mencari pengganti pak tua ini."

"Ayo!" Febri mengeluarkan pisau lipatnya.

"Kau fikir aku takut. Melawan tikus-tikus tak berakhlak macam kalian bukan lah hal yang susah." Raka merogoh saku celana bahannya, mengeluarkan sesuatu yang mengkilap dari dalam sana.

Possessive and Psycho Boyfriend [REPOST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang