5. Kabur 🔪

68.3K 5.9K 657
                                    

Febri diam, berbaring di samping tubuh Vani yang tak sadar. Tangannya bergerak mengelus pipi gadis itu lembut sesekali mengecup pipi gadis itu. Mata Vani yang perlahan terbuka membuatnya mengukir senyum.

Sosok Febri yang tengah tersenyum menjadi hal yang pertama kali Vani lihat. Gadis itu dengan cepat kembali menutup matanya, enggan menatap Febri yang menakutkan.

"Hey, bangun terus makan dulu nanti baru tidur!" ujar laki-laki itu membuat Vani memiringkan tubuh membelakangi Febri.

"Aku masih pingsan, jangan ganggu," ujarnya dengan ketus sembari memeluk guling dengan erat.

Febri tersenyum, tangannya melilit pinggang Vani. "Ngambek hm?" tanyanya sembari menempelkan pipinya dengan pipi Vani membuat darah gadis itu berdesir dengan hebat.

"Nggak ngambek tapi takut!" teriak Vani, tetapi sayang, ia hanya berani berteriak di dalam hati saja. Ingin berteriak secara langsung, tetapi takut lidahnya dipotong, kan serem.

"Jangan sentuh!" Vani menyentakan tangan Febri. Ia mulai terisak saat Febri sudah mencengkram bahunya. Lama-lama jika begini, bahunya akan copot. "Brengsek! Sialan! Lepasin! Kalau mau bunuh, bunuh aja! Nggak usah disiksa kayak gini! Gua capek tau nggak?!" Vani kembali menyentakan tangan Febri kemudian menatap laki-laki itu.

Ia menutup wajahnya dengan isak tangis yang tak berhenti. Dadanya terasa sesak. "JANGAN SENTUH!" teriaknya saat Febri mengelus rambutnya mencoba memberi ketenangan. "Jangan sentuh ...!" Ia mendorong tubuh Febri bergeser menjauhinya, kemudian kembali menutup wajahnya dan menangis kencang. Ia lelah dengan Febri.

Febri diam. Ia menggeser tubuhnya sedikit. Menatap langit-langit kamarnya dengan satu kaki tertekuk ke atas. Ia biarkan Vani menangis tanpa berusaha menenangkannya, mungkin gadis itu perlu waktu.

Febri melirik Vani saat gadis itu membalikkan tubuh membelakangi dirinya. Punggung gadis itu bergetar dengan isak tangis yang kian terdengar. Ia ingin memeluk dan menenangkan Vani, tetapi gadis itu sudah menolaknya, kan? Biarkan saja. Nanti juga berhenti sendiri.

Febri tersenyum miring saat Vani menggenggam tangannya yang sedari tadi gadis itu gunakan untuk berbantal. Mungkin Vani tak sadar.

Febri kembali menggeser tubuhnya mendekat dan mendekap tubuh mungilnya itu dengan menghadiahi kecupan singkat pada kepala Vani, sementara Vani hanya bisa diam. Dalam hati ia bersiap menerima hukuman yang mungkin akan segera ia terima. Perempuan itu tersenyum miris, malang sekali kehidupannya. Kenapa harus dia yang Febri pilih? Kenapa tidak perempuan lain saja? Kenapa harus dia?!

"Aku capek kalo harus bilang maaf terus. Percuma juga kalau aku bilang maaf tapi besok aku ulangi lagi," ujar laki-laki itu membalikkan tubuh Vani hingga menatapnya dengan mata yang masih berlinang air mata.

Tangannya bergerak membawa Vani untuk bersandar pada dadanya. Menyuruh gadis itu secara tidak langsung untuk mendengar detak jantungnya yang selaku menggila.

"Aku cuma mau ngajak kamu buat cincang daging tadinya, tapi kamu udan pingsan," ujar laki-laki itu menghirup dalam aroma tubuh Vani. Tangannya terus bergerak melilit Vani yang hanya diam sedari tadi.

"Bohong ...," kata Vani parau. "Kamu pasti mau gores aku, nggak usah bohong!" Gadis itu semakin menangis sembari mencengkram baju Febri. Febri pasti berbohong! Tak perlu berbohong, ia sudah tahu semuanya.

"Tadinya emang gitu, tapi inget luka kamu yang belum sembuh aku ubah niatnya. Eh, kamunya udah pingsan duluan." Febri terkekeh kemudian melepaskan pelukannya saat tangsi Vani sudah mereda.

Laki-laki itu bangkit dan menarik Vani untuk ikut bangkit. "Ayo, makan dulu! Kamu belum makan dari pulang sekolah," ujarnya tapi Vani menolak keras.

Possessive and Psycho Boyfriend [REPOST]Where stories live. Discover now