27. SIAPA? 🔪

37.4K 3.6K 1.5K
                                    

Sing penting aku mencintaimu, perkoro koe ora, yo wes urusanmu, pokok e tetep gas trabas
jingan asu tenan

Happy reading

Vote dan komen jangan lupa
.
.
.

04.12 AM

Hap!

Febri memeluk Vani cepat kala gadis itu hampir saja jatuh dari sofa yang mereka gunakan tidur tadi malam. Febri berat, mana kuat Vani mengangkatnya ke kasur, jadilah Vani hanya mengambil selimut dan tidur di samping Febri, beruntung sofa itu cukup untuk menampung tubuh mereka berdua walau tak dapat bergerak bebas, bahkan tubuh tangan Febri juga terasa sedikit kaku lantaran Vani gunakan untuk menjadi bantal.

"Kalau jatuh apakah dia akan menangis?" gumam Febri pelan. Ia mengulas senyum sembari memperbaiki posisi Vani agar lebih nyaman.

Vani sudah cukup menjadi alasannya tersenyum di saat terbangun dari tidur. Dulu saat terbangun dari tidur yang ia lakukan adalah melihat sinar matahari yang perlahan mulai menyembulkan diri. Bersantai di balkon kamar sembari bermain gitar dan terkadang ia juga iseng, memanah para penjaga rumah untuk melihat darah yang membuat jiwanya terasa tenang.

Walau kakeknya sering marah-marah tapi ia hanya tersenyum menanggapinya. Toh iya hanya melukai bukan membunuh.

"Engh ...." Vani menggeliat pelan membuat Febri terkekeh. Ia mengecup dahi gadis itu. Cukup lama bibirnya mendarat di dahi Vani. Laki-laki itu memejamkan mata mengabaikan darahnya yang kini berdesir dengan hebat.

Diam-diam Vani mengulas senyum. Ia membuka mata untuk menatap Febri yang masih menempelkan bibir di dahinya.

Gadis itu segera kembali menutup mata saat Febri melepas bibir dari dahinya. Beralasan mencari kehangatan, ia mempererat pelukan di tubuh Febri membuat laki-laki itu kembali tersenyum. Febri ikut mempererat pelukannya setelah menarik selimut untuk menambah kehangatan.

"Aku mencintaimu ...," bisik Febri pelan disusul kecupan yang ia layangkan pada pipi Vani yang terdapat ukiran namanya.

Ah, mengingat ukiran itu, ia lupa menanyakan pada Ican, apa laki-laki itu sudah mengurus tikus kecil yang sudah berani ingin merebut miliknya. Jika belum, maka biarkan ia yang bertindak, rasanya dengan mencongkel mata dan merobek mulut Refli itu tidak akan membuat laki-laki itu mati 'kan? Atau ia panah saja mata mantan Vani itu, pasti akan sangat indah jika anak panahnya berlumur darah dengan posisi yang masih tertancap di mata keparat itu.

"Ah!" Febri mendesah pelan hanya membayangkan itu saja. Jiwa liarnya yang jarang terpuaskan kini bergejolak menuntut untuk dipuaskan. Hujan yang masih mengguyur bumi membuat gejolak itu semakin menjadi. Ia butuh kepuasan, ia butuh melihat penyiksaan, ia butuh melihat darah yang mengalir dengan deras, ia butuh semua yang orang katakan kejam.

Tanpa sadar tangannya terkepal dengan kuat membuat Vani yang diam-diam telah terbangun sejak tadi mengeryit heran. Ada apa dengan Febri?

Vani ingin membuka mata tetapi urung kala merasakan pergerakan Febri yang semakin mengeratkan pelukannya.

"Apa aku boleh menggoresmu?" Febri berbisik dengan suara serak membuat Vani meneguk ludahnya yang tiba-tiba terasa pahit. "Kemana pisauku?" Febri bergumam, ia meraba sofa yang berada di bawahnya. Di setiap sudut kamar ini ada pisaunya yang tersembunyi.

Possessive and Psycho Boyfriend [REPOST]Where stories live. Discover now