3. Ikut denganku! 🔪

84.3K 6.7K 996
                                    

Kalau kalian merasa cerita ini mirip Raka sama Gisel ya maap, aku kalo ngetik keinget mereka terus

***

Gerakan Vani yang hendak keluar dari mobil terhenti saat Febri menariknya hingga kembali terduduk. Matanya menatap laki-laki itu takut.

"Jangan lupa makan siang!" peringat laki-laki itu dan langsung diangguki oleh Vani. Lebih memilih menurut dari pada harus membantah. Toh, perutnya juga sudah keroncong minta diisi.

"Jangan banyak-banyak! Jangan sampai kekeyangan nanti sakit perut!"

Vani menatap laki-laki di depannya itu bingung, walau bagaimanapun, rasa sakit akibat kekeyangan itu tidak sebanding dengan rasa sakit yang laki-laki itu gores kan.

Febri mendengus kala Vani hanya diam. Apa perlu, ia jahit sekalian kulit perempuan itu agar tak bisa bicara sekalian, dari pada punya mulut tapi tak digunakan. Kan mubazir.

"Aku turun dulu."

Febri mengangguk, tangannya bergerak mengelus rambut gadis itu dengan lembut. "Hati-hati!"

Vani tersenyum kemudian mengangguk dan segera keluar dari mobil. Kaca mobil terbuka membuatnya menautkan alis bingung. Apa lagi?

"Sini! Aku mau ngomong bentar," ujar Febri menarik lengan perempuan itu pelan.

"A-apa?" tanya Vani takut hingga dalam hitungan detik matanya membola saat Febri mengecup pipinya tanpa izin.

"Aku mencintaimu ...," bisik Febri kemudian kembali menutup jendelanya, meninggalkan Vani di dalam keterpakuannya.

Vani menghela napas saat mobil Febri sudah menghilang tak tampak olehnya. "Cinta apa obsesi?" Ia menghentakkan kaki kesal kemudian segera memasuki perkarangan rumahnya. Matanya memincing kala melihat dua bocah sedang mengendap-endap keluar dari rumahnya.

"Udah, Apip cepat pelgi! Nanti kalo Bang Lepan lihat, Apip bisa dijadiin daging cincang. Lagian ngapain Apip ke sini? Asya udah punya banyak cogan, Apip udah nggak masuk di daftal buku Asya lagi," ujar gadis itu sembari mendorong bahu Afif agar cepat pergi.

Laki-laki itu mendengus. "Aku udah belajar bela diri kemaren sama papa, Sya. Tenang aja, udah bisa aku tuh, lawan Bang Revan," jawab Afif tersenyum sombong sembari memamerkan lengannya seolah memiliki otot yang besar, padahal mah, kempes.

"Hey!"

"Astagfilullah, olang cantik kaget!" Tasya menjerit kekagetan membuat Vani tertawa kecil.

"Orang cantik kalo udah kaget, cantiknya luntur," ujarnya membuat mata Tasya berembun. Ia tak terima jika kecantikannya luntur.

"Beecanda elah, baperan banget jadi bocil," ujar Vani menyentil dahi Tasya kemudian pergi memasuki rumah.

Tasya menatap Afif kemudian mendorongnya. "Pelgi sana!" usirnya. "Kak Pani! Asya mau lihat loti sobek lagi, yang potongnya banyak di HP Kakak itu!" teriaknya anak itu mengejar Vani.

"Anjir, adek gua tau dari mana roti sobek," gumam Vani berlari menuju dapur untuk mengambil minum.

"Bang Panul!" teriaknya membuat Revan yang tengah menikmati sepiring spaghetti-nya mendengus. Tanpa menoleh pun, ia tahu siapa yang memanggilnya dengan nama yang sangat menjijikan itu. Mungkin sebagian orang akan bingung kenapa nama mereka itu jauh, padahal mereka kembar.

Sebenarnya, dulu nama panggilannya adalah Vano, tapi lantaran Vani yang tak bisa menyebut namanya dengan baik dan benar, ia mengganti nama panggilannya sendiri. Tidak main-main, siapa yang masih memanggilnya Vano pun, ia ajak berkelahi secara jantan, padahal usianya masih lima tahun.

Possessive and Psycho Boyfriend [REPOST]Where stories live. Discover now