36. Apartemen🔪

25.9K 3.4K 1.5K
                                    

1,3 k vote, 500 komen yuk, kita lanjut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

1,3 k vote, 500 komen yuk, kita lanjut

Happy READING
.
.
.

"Mau lagi nggak?" tanya Vani sembari menyodorkan satu tusuk sate pada Febri yang memasang wajah dingin.

"Nggak." Satu kata yang terdengar begitu ketus membuat Vani menghela napas untuk kesekian kalinya.

Ingin sekali rasanya Vani menghancurkan kepala Febri. Bisa-bisanya laki-laki itu menyuruhnya untuk membeli sate dan berakhir marah seperti ini karena cemburu.

"Kan kamu tadi yang nyuruh beli sate, kok marah sih?" tanya Vani sedikit frustasi. Ia mendengkus kuat-kuat membuat Febri meliriknya tak suka.

"Aku hanya menyuruhmu untuk membeli sate, bukan tebar pesona," sinis Febri lalu membuang muka.

Jika saja saat ini ia tidak sedang berada di rumah Rafa, sudah ia pastikan, kedua sudut bibir Vani ia gores sedikit, agar gadis itu tahu, bahwa senyum Vani adalah miliknya.

"Loh, siapa yang tebar pesona. Orang cuma ngobrol sama ketawa kok." Vani berusaha membela diri tapi ia langsung menutup mulutnya ketika sadar.

"Kamu bilang tadi cuma senyum, sekarang kamu bilang ketawa?! Jangan-jangan kamu juga ciuman sama tukang sate itu?" Mata Febri melotot tajam, begitu pula dengan Vani yang tak terima dengan perkataan Febri. Matanya juga melotot.

"Kalau ngomong sembarangan. Dasar Februari!" Vani menyentakkan piring di tangannya dengan kasar kemudian pergi dari sana meninggalkan Febri yang menggeram kesal.

"Vani!" teriak Febri tapi Vani tak peduli, ia duduk di samping Farel. Bersandar pada bahu laki-laki itu kemudian memilih memejamkan mata.

"Sialan!" Gejolak amarah tak bisa lagi Febri bendung. Ia hampir saja melemparkan pisau agar menancap sempurna di paha Vani, tapi dering ponsel membuatnya urung melakukan itu.

Dari Daven, sebuah panggilan video.

Kedua sudut bibir Febri terangkat membentuk sebuah seringai yang membuat Farel yang melihatnya bergidik ngeri.

"Nitip Vani." Setelah mengatakan dua kata itu, Febri masuk ke dalam rumah dengan bersiul ria.

"Aku lelah hanya melihat orang lain membunuh, aku juga ingin membunuh, Feb ...," rengek Caren dari sebrang sana. Ia tampaknya sudah bosan melihat Daven membunuh.

"Kenapa kau mengeluh padaku? Kenapa kau tidak meminta izin pada ayahmu saja? Bukankah ayahnya yang melarang membunuh?" sahut Febri jengah. "Singkirkan wajahmu, aku sudah bosan melihatnya. Aku ingin melihat Daven membunuh," desis Febri tajam membuat Caren cemberut.

"Aku terluka oleh kata-katamu, Feb," kata Caren mendramatis.

"Jangan sampai kurusak wajahmu itu, Caren!" bentak Febri membuat Caren segera merubah kamera yang semula kamera depan menjadi kamera belakang.

Possessive and Psycho Boyfriend [REPOST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang