19. Where are you? 🔪

40.9K 4.1K 1.3K
                                    

Vani menghela napas panjang. Tangannya berusaha untuk menghilangkan jejak air matanya.

"Gua mau, Niel. Tapi gua juga nggak mau keluarga gua tewas semuanya cuma gara-gara kabur dari Febri." Vani sesegukan. Ia meremat gelas yang berada di depannya dengan erat.

Vani mendongakkan wajah. Berusaha menahan air mata agar tak kembali tumpah. Daniel tersenyum miring, ia kembali menyeruput kopi latte-nya dengan tenang, seolah ketakutan Vani tidak mungkin akan terjadi.

"Nggak bakal." Daniel menjatuhkan punggungnya di sandaran kursi. Mengedarkan pandangannya untuk memastikan bahwa Febri tidak ada disekelilingnya sekarang.

Alex terlelap tepat di samping Daniel dengan wajah yang tertutup jaket. Sebenarnya, ia tadi tidak pingsan, tapi dipaksa untuk meminum minuman yang telah diberi obat tidur. Alhasil, ia menggelepar.

"Gimana? Gua cuma mau bantu lo bebas dari Febri aja." Daniel memajukan wajahnya, menatap Vani yang tampak bimbang.

Daniel menjamin seratus persen, Febri tidak akan bisa menghabisi keluarga Vani selagi masih ada Daven yang tidak ingin gadis kecilnya kehilangan kasih sayang sebelum laki-laki itu benar-benar menarik Tasya ke dalam hidupnya tanpa terkecuali.

"Yakin?" Ada binar penuh harap dari gadis itu membuat Daniel mengulas senyum. "Yakin Febri bakal nggak nemuin gua? Nggak bakal bunuh ayah sama bunda?"

"Iya."

"Ayo! Kita kabur sekarang!"

Daniel tidak tahu, jika Febri tak bisa membunuh keluarga gadis itu, Febri bisa saja membinasakan keluarga Daniel baik itu Geby--sepupu kesayangan Daniel--sekalipun.

BAB berjamaah. Itulah yang baru saja Revan dan sahabatnya lakukan. Revan mendengar semua pembicaraan Vani DNA Daniel dengan bantuan alat sadap suara yang ia tinggalkan di bawah meja.

Bukan apa-apa. Ia takut ada orang yang kembali menggangu adiknya itu.

Laki-laki dengan tindik hitam di telinga kirinya itu geleng-geleng tak percaya. Vani memang tidak ada kapoknya. Andai ia tak pernah berbagi tempat di dalam rahim dulu, sudah ia biarkan Vani pergi bersama Daniel sekarang juga.

"Kalau mau masuk ke dalam neraka dunia, jangan ajak adek gua!" Revan menatap Daniel tajam tapi laki-laki itu hanya memutar bola mata.

"Niat gua kan baik, cuma mau bantu aja." Daniel menyahut santai.

"Tapi, Bang--"

"Lo kenapa nggak ada kapoknya sih, Van?! Mau kabur? Lo kira Febri sebodoh itu?! Kalau misalnya pas lo ada di Bandara terus tiba-tiba dia datang terus ngasih bawa lo pulang, dikasih hukuman, lo bilang dia kejam, nggak punya hati! Lo yang nggak punya otak! Udah tau Febri kayak gitu masih aja bandel, apa susahnya jadi penurut sih?! Lo bisa nurut sama Ican, tapi kenapa nggak bisa nurut sama gua, sama yang lain."

Napas Revan memburu dengan mencengkram tangan Vani kuat. Ia menarik Vani pergi dari cafe tempat mereka singgah.

Tanpa perduli Vani yang berjalan tertatih, Revan menarik Vani kuat. Rasanya ia begitu kesal dengan kembaranya ini. Tidak ada lagi kah pikiran Vani selain kabur dan kabur?!

Kenapa tidak belajar mencintai Febri saja, ia rasa itu akan lebih baik dari pada gadis itu berusaha untuk kabur terus menerus.

Lagi pula, Revan pikir Febri tidak sejahat itu, tapi Vani-nya saja yang terlalu bandel dan keras kepala.

"Lo nggak tau rasanya jadi gua! Disiksa terus!" Vani berteriak kesal. Ia semakin menangis memukul punggung tegap Revan dengan kuat.

Kenzo mendekati Revan yang terlihat kalap, sebenarnya keadaan hati Revan sedang kacau lantaran cemburu pada Geby yang tertangkap sedang asik bercerita kepada Varen tadi di sekolah.

Possessive and Psycho Boyfriend [REPOST]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora