41. Gara-gara Basket 🔪

23.9K 3K 1.1K
                                    

Laki-laki itu menghembuskan napas kasar. Rasanya ia ingin menghancurkan segala benda yang ada di hadapannya. Berkali-kali ia mengumpat membuat sang sahabat akhirnya angkat suara. Telinga mereka terasa pengap mendengar umpatan yang tak berhenti keluar dari mulut Febri.

"Udah, astagfirullah! Jangan marah mulu. Cepat tua lo lama-lama." Daniel menempeleng kepala Febri kuat-kuat.

"Bodo amat." Febri mengusap wajahnya kasar. Ia menarik tangan Vani yang sedari tadi diam dengan kasar.

"Awas aja kalau mata kamu jelalatan. Aku nggak keberatan punya istri buta," pungkas Febri mendorong tubuh Vani agar segera duduk di bangku yang tersedia.

Laki-laki itu menatap gadisnya dengan tajam saat perempuan itu menghela napas lelah.

"Udah berapa kali aku bilang. Iya, Febri, iya." Sudah lelah rasanya ia mengatakan itu.

Gara-gara ruang ujian yang berbeda membuat tangan Febri harus berusaha lebih sabar lagi agar tidak menghancurkan semuanya.

Walaupun Vani sudah mengatakan iya, tapi ia masih tetap tidak tenang. Padahal seluruh kaum Adam yang berada di ruangan itu kini sudah membuang muka dan menganggap tidak ada Vani di sana. Namun, Febri masih tak bisa juga menghilangkan rasa cemburu yang tiba-tiba muncul.

Ia benci ini. Argh! Sialan! Lihat saja, akan ia buat orang yang mengatur ruang ujian ini menyesal nantinya. Ia rasa Daven masih sangat senang membunuh. Laki-laki itu sudah lupa akan perkataan Revan waktu itu. Menurutnya, untuk apa peduli, toh jika Febri tidak membuka mulut, Revan tak akan tahu jika dirinya ini hobby membunuh orang.

Jika tidak, saat Tasya besar nanti akan ia culik dan bawa jauh saja, atau bila perlu ia bawa sekarang.

"Febri, udah dong." Vani berusaha untuk membuat tangan Febri melepaskan cengkraman di bahunya yang entah mengapa semakin kuat saja.

"Ini peringatan terakhir. Jaga mata kamu. Ingat, pisau aku nggak pernah suka jadi pendiam," bisik Febri sebelum dirinya benar-benar pergi dari sana setelah memberikan tatapan penuh ancaman baik pada Vani maupun seluruh penghuni ruangan yang sebagian besar adalah laki-laki.

Febri meninju dinding berkali-kali. Sial! Kenapa ia bisa lupa mengurus ini?! Harusnya ia tahu jika ruangan mereka akan berbeda. Namanya berawalan huruf F, dan Vani R. Harusnya ia ingat ini atau paling tidak sahabatnya itu mengingatkan.

"Argh!" Febri menggeram kesal. Ia mengacak rambutnya frustasi. Tidak bisa seperti ini, pasti Vani akan menatap laki-laki lain nanti dengan alasan nggak sengaja.

"Ada gua, tenang aja." Alex menepuk bahu Febri sebelum akhirnya ia ngibrit masuk ke dalam kelas dan meninggalkan Febri yang kini tengah menatapnya tajam.

Daniel menarik paksa tangan Febri ketika bel masuk berbunyi. Sedangkan di dalam sana, Vani berusaha mati-matian untuk tidak memanfaatkan keadaan. Sungguh, Vani merasa tersiksa. Bagaimana tidak, isinya cowok semua, mana good looking pula, kan ia tak tahan.

"Untung nama gua berawalan huruf z, Van. Coba kalau nggak. Gua jamin, pasti sekarang lo udah di kurung Febri di ruangan belakang." Alex duduk di sebrang Vani.

"Oh." Vani menyahut pendek membuat Alex mendengkus kesal. Laki-laki itu melirik ujung mejanya yang terdapat kartu ujian yang di tempel di sana. Namanya tertulis jelas di sana. Zerion Alexander.

Ia mengambil kertas itu. Senyumnya mengembang dan ia mulai membuat jimat di balik kertas yang terdapat lem yang sudah mengering itu.

"Bismillahirrahmanirrahim," gumamnya mulai menulis rumus di balik kertas membuat Vani geleng-geleng kepala.

Possessive and Psycho Boyfriend [REPOST]Where stories live. Discover now