6. Jangan bermain-main, Tuan! 🔪

66.4K 5.9K 764
                                    

Sebelumnya, udah follow akun ini belum?

Jangan lupa vote dan komen ok? Kalau bisa setiap paragraf

***

"Akh!"

"Lancang!" teriak Febri melompat dan mendarat dengan lancar. Ia layangkan pukulan kepada salah satu anak buahnya yang menyentuh Vani. Rahangnya mengeras, terpaksa ia ubah sasarannya saat laki-laki bertubuh besar dan tegap itu menyentuh tangan Vani. Menahan gadis itu agar tak bisa kabur.

Niatnya baik, tapi cukup membuat Febri murka. Laki-laki itu tak terima saat tangan kurang ajar itu menyentuh Vani.

"Mati kau sialan!" teriak Febri menendang laki-laki itu kuat hingga terbentur besi pagar.

Ucapan ampun dan maaf yang laki-laki itu keluarkan tak membuatnya iba. Darah yang mengalir akibat anak panah yang menancap pada telapak tangannya membuat Vani syok di tempat. Rasa takut dan tegang saat salah satu anak buah Febri mengetahui percobaan kaburnya semakin bertambah berkali-kali lipat.

Jeritan penuh kesakitan membuat air mata Vani luruh. Kakinya lemas tak bertenaga. Ingin menghentikan Febri, tapi lidahnya kelu tak mampu berbicara. Sebisa mungkin ia berjalan mundur mencoba melanjutkan percobaan kaburnya.

"Selangkah lagi kau mencoba kabur, jangan harap bisa berjalan lagi!" bentak Febri membalikan tubuhnya menatap Vani dengan bengis.

Perempuan itu meneguk ludah yang terasa pahit dengan susah payah. Tubuhnya gemetar ketakutan saat Febri berjalan mendekat dan melayangkan tamparan kuat hingga membuat sudut bibirnya berdarah.

"Pembangkang!"

Tangis Vani pecah. Pipinya terasa perih dan berkedut. Matanya terpejam menahan rasa sakit kala Febri menekan setiap luka pada punggungnya dengan kuat. Laki-laki itu menyeringai bak iblis dengan tangan yang tak berhenti menekan luka itu kuat-kuat.

"Masuk ke dalam dan tunggu hukumanmu!" perintah Febri melepaskan tubuh Vani dari kukungannya. "Cepat!" bentaknya membuat Vani langsung berlari memasuki mansion dengan tangis yang tak terbendung.

Seseorang menariknya hingga hitungan detik tubuhnya sudah berada dalam dekapan hangat seorang laki-laki ber-hoodie hitam itu.

"Ayo, pergi dari sini," kata laki-laki itu membuat Vani mendongak. Tangisnya semakin pecah. Kedua tangannya memeluk Revan dengan erat.

"Takut ...." Gadis itu terisak membuat hati Revan ngilu. Luka pada sudut bibir adiknya membuat emosi Revan naik ke ubun-ubun.

"Kita cepat pergi dari sini sebelum Algi dan cucunya tahu," ujar Arkan membuat niat Revan untuk memberikan pelajaran pada Febri ia urungkan.
Masuk ke dalam mansion milik Algi adalah sesuatu yang sangat mudah Arkan lakukan karena ia sudah cukup sering datang menghampiri sahabatnya itu.

"Jangan nangis!" Revan membawa Vani ke dalam gendongannya kemudian dengan cepat melangkah keluar dari rumah itu.

Para penjaga tidak ada yang protes, yang mereka tahu Arkan bebas melakukan apa saja di rumah ini. Jadi wajar saja mereka tak menahan, malah dengan ramah mereka menyapa dan menanyakan kabar. Tidak menduga jika setelah ini nyawa merekalah yang menjadi tebusan.

Mobil Arkan yang sudah melaju kencang meninggalkan rumah Febri dan menembus kegelapan malam membuat penjaga gerbang menutup pagar dengan tenang. Semua kembali berjaga dengan sesekali diiringi canda tawa, tetapi masih tetap fokus dengan tugasnya hingga semua berubah menjadi senyap dan tegang kala suara kemarahan Febri tertuju pada mereka.

"Dasar bodoh!" bentak laki-laki itu melemparkan vas bunga besar hingga menghantam salah satu kepala penjaga dengan kuat.

"Febri!"

Possessive and Psycho Boyfriend [REPOST]Where stories live. Discover now