18. Kabur sama gua?🔪

42.9K 4.3K 1.3K
                                    

Risih dan kesal Vani rasakan setelah kedamaian. Ia menatap para teman sekelasnya dengan tatapan tajam, tapi tak membuat mereka ketakutan.

Alex sedari tadi sudah memperingati, tetapi para temannya tak juga mengindahkan.

"Jaga mata kalian, Njing. Kalau Febri tau mati kalian!" Alex geram sendiri, ia meleparkan satu baskom kulit kacang pada ketiga cowok yang sedari tadi menatap Vani penuh minat.

"Dia nggak bakal bisa masuk ke sini lagi. Lagian tugas kelompok udah siap, tinggal di print aja." Satu cowok dengan empat kancing baju terbuka itu menatap Vani dengan menyeringai. Ia mengode kedua sahabatnya membuat Alex panik.

Bisa gawat jika terjadi apa-apa dengan Vani. Bisa-bisanya nyawanya melayang. Febri dan Daniel sekarang masih berada di minimarket untuk membeli cemilan, sedangkan ketiga cowok itu baru saja tiba setelah satu menit Febri dan Daniel pergi.

Saat ini, mereka tengah berada di apartemen Deon--teman sekelas.

"Jangan macam-macam!" Alex menatap ketiga cowok itu dengan tajam, tapi tak diindahkan.

Cowok dengan nama Rio segera mendorong tubuh Alex dengan kuat saat cowok itu menghalangi dirinya yang hendak menyentuh Vani.

"Gua duluan gimana?" Riko yang sedari tadi masih diam mendekati Vani yang semakin tak nyaman.

Febri sialan! Bisa-bisanya cowok itu meninggalkan dirinya di sini. Ia masih berusaha untuk tetap tenang walau sebenarnya takut. Sebenarnya Febri sudah memberikannya pistol sebagai antisipasi padanya, tapi ia takut membunuh orang.

Tangannya meremat ponsel Febri yang berada di genggamnya. Ia sudah mencoba untuk menghubungi Daniel tapi tak bisa.

"Ini kenapa? Disiksa Febri?" Riko menyentuh pipi Vani yang sedikit lebam kemudian tertawa. "Mending jadi budak sex gua, gua perlakuin secara lembut deh."

Laki-laki itu menyeringai membuat Vani benar-benar kesal. Sedangkan Alex. Sudah pingsan terlebih dahulu. Dasar laki-laki lemah. Vani mengumpat di dalam hati.

Kini ketiga cowok itu sudah berada di sekelilingnya. Menatapnya dengan tatapan kurang ajar.

"Awas! Atau kalian bakal nyesel?" Napas Vani memburu, dadanya naik turun membuat ketiga cowok itu semakin menggila.

"Cantik banget sih, anjim! Mukanya lebam aja cantik, apalagi kalau mulus." Riko menjilat bibirnya yang mengering. Febri tak mungkin bisa kembali masuk ke dalam apartemennya, secara, ia sudah mengubah password yang ia beri tahu sebelumnya. Apartemen ini sebenernya milik mereka bertiga.

Vani diam tak melawan saat ketiga cowok itu mencolek pipi dan dagunya. Dalam hati ia menghitung. Satu ... dua ... tiga ... empat ... lima.

Lima kali ketiga cowok itu mencoleknya membuat kesabaran Vani mulai kerkikis habis.

"Gua duluan," putus Riko mendorong kedua sahabatnya menjauh membuat mereka mendengus sebal.

"Bareng-bareng aja kalik, kan enak." Deon memberi usul sembari melepaskan bajunya.

"Cih, buncit," cibir Vani membuat cowok itu menyeringai.

"Nanti perut lo juga buncit, Van. Sampai keluar dedek bayinya." Rio mendekatkan wajahnya pada Vani. Hendak mencium gadis itu yang tak bisa memberontak lantaran kedua tangannya ditahan oleh Deon dan Riko.

Deru napas Rio memburu. Napsu bejatnya sungguh besar. Tak perduli jika ia akan mati nanti. Menyentuh Vani sudah ia inginkan semenjak pertama kali gadis itu menginjakkan kaki di sekolah yang sama dengannya.

Hanya berjarak satu senti lagi, bibir mereka akan saling menyentuh membuat Vani memejamkan matanya erat-erat.

Krek ....

Possessive and Psycho Boyfriend [REPOST]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora