1. New School 🔪

116K 8.6K 1K
                                    

Vani mengeratkan pegangannya pada tali tas ranselnya. Berkali-kali ia menghela napas panjang untuk meyakinkan dirinya. Bahwa, semua akan baik-baik saja.

"Vani masuk dulu, Yah." Gadis itu meraih tangan dan mencium punggung tangan laki-laki paruh baya yang duduk di samping kemudi.

"Iya, hati-hati! Harusnya kamu satu sekolah aja sama abang kamu." Rafa meraih kepala anak gadisnya kemudian mengecup singkat dahi sang anak dengan penuh kasih sayang.

Entah kenapa, Rafa merasa janggal dengan putrinya ini. Perubahan sifat yang cenderung lebih pendiam, dan permintaan kepindahan sekolah yang mendadak membuatnya merasa ada yang putrinya sembunyikan. Ia akan mencari tahu sendiri, sebab, anak gadisnya itu tak mau bercerita.

"Gapapa. Aku nggak mau deket-deket sama Bang Panul, nanti aku dibully lagi." Vani tersenyum singkat kemudian segera keluar dari mobil sementara Rafa hanya menggelengkan kepalanya. Vani masih saja tetap mempelesetkan naman abangnya.

Vani melambaikan tangannya. Senyumnya luntur kala mobil sang ayah sudah melesat pergi meninggalkannya. Kini hanya ia sendiri, tidak ada yang ia kenal di sini. Ya, harusnya ia memang sekolah bersama kembarannya agar lebih aman, tapi ia tak mau jika harus bertemu laki-laki itu setiap hari.

Vani menghela napas sekali lagi. Dengan tersenyum kecil ia membalikkan tubuh menghadap gedung SMA Cendana yang menjulang tinggi. Baru satu langkah kakinya memasukinya kawasan sekolah, tubuhnya sudah kaku dengan jantung terpacu cepat. Tubuhnya bagai tersengat listrik tegangan tinggi kala mendapati seorang pemuda dengan seringai yang baginya begitu menakutkan.

Pemuda itu, pemuda yang ia hindari. Kenapa laki-laki itu berada di sini? Bukankah, harusnya ia berada di sekolah, sekolah yang sama dengan kembaranya dan berbeda dengannya.

Vani mempercepat langkahnya menuju lorong yang merupakan jalan menuju kantor kepala sekolah. Dalam hati ia cemas tak menentu. Kakinya melangkah cepat meninggalkan rasa cemas. Sebisa mungkin ia berfikir positif, bahwa laki-laki itu tak mengincarnya.

"Eh!" Vani terperanjat kaget kala tubuhnya tak sengaja menabrak seseorang hingga dirinya mundur beberapa langkah.

"Loh, kok sekolah di sini?" Laki-laki dengan name tag Daniel Danendra itu mengeryit dahi bingung, ada rasa panik yang tiba-tiba menyerangnya.

Vani memaksakan bibirnya untuk tersenyum walau rasa takut luar biasanya menguasai dirinya. Ia menatap Daniel yang merupakan sepupu dari kekasih kembarannya itu dengan senyum yang semakin merekah.

"Emang kenapa?"

Daniel menggaruk tengkuknya. "Nggak papa, cuma heran aja. Kenapa lo sekolah di sini? Kenapa nggak sekolah di sekolah punya bokap elo aja?"

Jika keluarga kita mempunyai sekolah sendiri, kenapa harus bersekolah di sekolah lain? Itu yang Daniel tak mengerti dari Vani.

"Gu-gu-gue ... em ...." Vani bingung mau menjawab apa. Tangannya semakin basah kala seorang pemuda yang tadi mengamatinya kini berjalan mendekat dengan gaya dinginnya.

Walau tak melihat secara langsung tapi Vani tahu itu. Dengan segera Vani meninggalkan tempatnya tadi berpijak dengan sedikit mendorong bahu Daniel menjauh. Ia harus segera pergi, ia tak mau berdekat-dekatan dengan laki-laki yang kini semakin mendekat.

"Lah, Van! Mau ke mana?!" Daniel menatap punggung Vani yang menjauh dengan menggelengkan kepala tak paham.

"Jangan sentuh dia, Niel! She is mine ...."

Daniel terperanjat ketika tubuhnya di dorong hingga membentur dinding dengan cukup kuat. Laki-laki itu tercengang ketika melihat wajah sahabatnya yang begitu tak bersahabat untuk saat ini. Bahkan laki-laki itu menatapnya seakan ingin membunuh.

Possessive and Psycho Boyfriend [REPOST]Where stories live. Discover now