14. Good Girl 🔪

51.4K 4.7K 862
                                    

"Bunuh mereka yang menghalangimu," ujar pria itu tersenyum smirk membuat Febri menyeringai.

"Aku akan menghabisi Ican terlebih dahulu."

Daven geleng-geleng kepala. Ia masih asik mengunyah apel yang tinggal setengah. Selama hidupnya, pesan dan saran ayahnya itu tak ada yang baik dan benar, semua menyesatkan.

"Kau tidak akan menemukannya di sini, Feb!" Katakan saja ia tak punya sopan santun, umurnya tiga tahun lebih muda dari Febri, tetapi untuk memanggil kakak, ia sangat enggan melakukan itu.

Febri yang tengah melangkah terhenti dan membalikan tubuh menghadap Daven. "Maksudmu apa?"

"Pria tua itu juga membawa laki-laki lemah itu."

"Sialan!"

"Jangan marah-marah! Kau membuat telingaku terasa pecah!" Daven melemparkan pisaunya kesal sementara Raka berjalan menjauh dari sana.

"Aku akan membunuh keluarganya saja jika begitu."

"Sialan! Jangan macam-macam!" Daven memperingati. Ia menggebrak meja dengan kesal.

"Kau kenapa? Jangan bilang gadismu adalah Tasya!"

***

Anak itu menangis kecang saat kepalanya terasa sakit.

"Kepala Asya sakit!"

"Mau pecah!"

"Bang Lepan! Pengen cium!"

"Hua ... Ayah! Bang Lepan mana?! Asya pengen cium!"

Ia terus menangis sembari menjerit membuat kepala Rafa terasa hampir pecah.

"Tunggu sebentar, bang Revan masih di jalan."

Tasya terisak di gendongan Febi. "Sakit ...." Febi geleng-geleng kepala, padahal kepala Tasya hanya terbentur mobil-mobilan saja, itupun pelan, tapi kenapa begitu lebay?

"Astagfirullah, kok panas?" Febi terkejut saat suhu tubuh anak bungsunya itu mendadak panas.

Rafa memijat pelipisnya. Dengan satu tangan yang masih memeluk putrinya, ia menghubungi mencoba menghubungi Revan lagi.

Vani menangis dalam diam di dalam pelukan ayahnya. Rasa sakit pada betisnya semakin menjadi saat tak sengaja terbentur kursi.

"Cepat! Tasya udah nangis terus dari tadi, pokoknya habis ini ayah nggak izinin kamu tinggal di apartemen lagi! Baru satu hari aja adek kamu udah demam, apalagi kalau berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun, mati dia!"

"Mulutnya!" peringat Febi membuat Rafa menghela napas pelan.

"Iya, bentar lagi nyampek kok, nggak sampai lima menit," sahut Revan dari sebrang sana.

"Ayah tunggu."

Tut

"Ayah ... Vani takut Febri makin marah."

Rafa menunduk. Ia usap lembut air mata anaknya itu. Harus dengan apa ia membebaskan Vani dari Febri? Ia tak tega melihat keadaan putrinya yang terlihat kacau dengan banyak luka seperti ini.

"Jangan nangis terus, kalau dia ke sini biar ayah yang hadapi."

"Ih, Asya nggak butuh obat! Butuhnya cogan!"

"Hua ... bang Lepan! Pengen cium!"

Tasya guling-guling di lantai. Kemarin sore abangnya itu pindah ke apartemen dan membuat dirinya tak bisa mendapatkan ciuman cogan sebelum tidur. Hidupnya terasa hampa!

Possessive and Psycho Boyfriend [REPOST]Where stories live. Discover now