29. Senyummu Indah 🔪

29.9K 3.4K 832
                                    

Vani mendongak ke langit. Satu tangannya ia gunakan untuk menghadang tetesan air hujan yang mencoba membasahi wajahnya.

"Cepetan, Feb. Keburu hujan deras," ujarnya kembali memperhatikan Febri yang tengah berada di tengah rerumputan itu.

"Bentar, masih dikit nih."

"Cepetan, aku nggak bisa kena hujan lama-lama, kalau deras gapapa."

Febri langsung melotot tajam dan Vani hanya busa cengengesan. Kalau gerimis doang mah nggak asik, kalau deras kan enak, mandi hujan, mumpung nggak ada Ican.

"Itu-tuh, jangkriknya! Besar ey!" Vani bersorak girang. Senyum lebar terbit saat Febri berhasil menangkap jangkrik itu. Ia benar-benar ingin mengejar Mbak Duren, kasihan kalau nggak dimanfaatkan keadaannya. Dari pada si mbak nganggur, mending dibuat ketakutan, lumayan lah, tontonan gratis.

Febri mendekati Vani. Tubuhnya condong ke depan membuat Vani sontak mundur.

"Kenapa?" tanya Vani kebingungan sekaligus ketakutan melihat tangan Febri merogoh saku dan mengeluarkan pisau lipat.

Melihat ketakutan di mata Vani, Febri tertawa. Di bawah gerimis yang kian menjadi, ia menyatukan bibirnya di pipi Vani kemudian mundur satu langkah.

"Aku cuma mau ngasih ini lubang, ngapain kamu yang takut?"

"Kamunya nyeremin," balas Vani menghembuskan napas lega. Senter di tangannya ia matikan, atensinya beralih ke Febri yang tengah memberi lubang pada botol plastik agar jangkrik yang tengah mereka tangkap tak mati.

Yang nangkap sebenarnya hanya Febri, Vani cukup sebagai penonton sembari memberikan tambahan penerangan dari senter yang ia pegang.

"Semangat banget kayaknya."

Vani tersenyum menanggapi perkataan Febri. "Hidup itu harus semangat, Feb."

"Semangat untuk membuat orang menangis," lanjutnya.

"Ayo!" Febri berdiri membelakangi Vani dengan sedikit membungkuk. Vani meloncat pelan, mengalungkan tangan di leher Febri, kepalanya di sembunyikan di leher Febri, membuat merasa harus benar-benar extra sabar. Vani selalu memancing adiknya untuk bangkit. Mana kalau bangkit Vani tidak mungkin mau tanggung jawab lagi.

Jika menyiksa secara fisik tidak bisa, menyiksa secara batin pun Vani lakukan untuk pembalasan dendam. Jika Febri menyakiti secara fisik, maka rasakan saja sekarang. Vani dengan sengaja membuat rangsangan kecil.

"Feb, besok nggak usah sekolah ya?" Dari samping Vani menatap wajah Febri. Dengan alibi bertanya sedikit takut, Vani menggerakkan jemarinya di dada Febri.

Tangan Vani membuat Febri hanya bisa menghembuskan napas kasar. "Mau di mana? Di kamar? Kamar mandi? Ruang keluarga? Ruang tamu? Di gudang? Atau di mana? Aku kasihan lihat kamu kepengen banget." Lain yang ditanya, lain pula jawabannya.

Vani langsung menjauhkan tanganya, ia mengurut lehernya pelan kemudian cengengesan. "Hehehe, tangannya yang nakal, Feb. Nggak akunya."

"Nakal banget kamu." Vani memukul tanganya membuat Febri terseyum tipis.

"Nakal banget tangannya? Dipotong aja gimana?" tawar Febri.

Vani melotot horor. "Kalau mau motong, boleh banget, Feb, tapi leher aja ya?"

"Enakan digigit dari pada dipotong. Mau nyoba nggak?"

Vani cemberut. "Awas aja, aku aduin sama ayah!"

o0o

Febri menjatuhkan tubuhnya di atas sofa, dengan bertopang kaki, ia menatap Vani yang tampak antusias. Gadisnya terlihat senang, dan tentu saja Febri senang, tapi wajah Vani mendadak lesu mengetahui pintu kamar Caren terkunci.

Possessive and Psycho Boyfriend [REPOST]Where stories live. Discover now