9. KELUAR! 🔪

61.7K 5.6K 1K
                                    

"Aku ingin melihat darahmu, Sayang ...."

Jantung Vani langsung terpacu dengan kuat. Vani langsung mendorong tubuh Febri membuat laki-laki tertawa kecil dan mencium pipi Vani dengan gemas. "Aku cuma bercanda," katanya membuat Vani kesal setengah mati.

"Nggak lucu tau nggak?!" Gadis itu bangkit dari duduknya dan berjalan menghentakkan kaki kesal meninggalkan Febri yang tersenyum remeh.

"Siapa yang nyuruh kamu pergi? Ke sini atau panah yang buat kamu berhenti di sana biar aku punya alasan buat ke sana?"

Telinga Vani rasanya panas walau tak dapat menepis rasa takutnya ketika mendengar perkataan Febri. Gadis itu bergeming kemudian membalikan tubuh dan langsung berjalan mendekati Febri.

"Untung gua nggak berani, kalau berani gua potong tuh, lidahnya biar nggak bisa ngancem-ngancem." Vani menggerutu pelan membuat sebelah alis Febri terangkat.

"Kamu ngomong apa?" tanyanya menarik dagu Vani untuk menatapnya.

"Nggak ngomong apa-apa," jawab Vani cepat dengan meneguk ludah kasar.

Febri menarik Vani kuat hingga membentur tubuhnya. Kedua tangannya perlahan melilit tubuh Vani cukup kuat membuat gadis itu tak dapat memberontak. Vani panas dingin ketika tangan Febri menyusup memasuki bajunya, menyentuh punggung polosnya. Kedua matanya terpejam saat laki-laki itu menyentuh garisan luka yang pernah diciptakan.

Febri melirik Vani yang memejamkan mata erat-erat di dalam pelukannya. Tangannya terus bergerak menyentuh luka-luka itu dengan lembut.

"Masih sakit?" tanya Febri mengeluarkan tangannya dari baju Vani. Ia rasa luka-luka itu sudah mengering dan tak mungkin terasa sakit lagi.

"Sedikit," jawab Vani pelan. Sebenarnya sudah tak sakit lagi, tapi ... Vani takut jika bilang tak sakit maka Febri akan menambah luka itu lagi. Vani benar-benar tak mau pisau Febri menyentuh punggungnya.

"Jawab yang jujur atau mau aku tambah?!" tanya Febri mulai mencengkram bahu Vani.

"Nggak, nggak sakit lagi!" jawab Vani cepat membuat Febri langsung melepaskan cengkramanya.

"Kamu pergi makan aja dulu, aku masih ada urusan di sini," kata Febri mengelus bahu Vani yang tadi ia cengkram.

Vani memejamkan matanya kesal. Tanpa sepatah kata ia pergi meninggalkan Febri. Rasa ingin pergi dari rumah ini semakin menggebu-gebu. Vani berusaha menghitung berapa persentase kesempatan kaburnya akan lolos, tapi jika ia kabur, ia mau pergi ke mana agar aman dan tak bertemu Febri lagi. Jujur saja, ia menyesal saat menolak perintah ayahnya saat itu untuk pergi ke luar negeri. Vani tersenyum cerah saat mendapatkan ide. Ia akan kabur dan akan menyamar menjadi orang lain saja, dengan begitu Febri tak akan menemukannya.

"Gua makan dulu aja, habis itu baru kabur. Nggak betah gua di sini lama-lama, lagian Ican juga baik-baik aja. Nanti gua buat drama seolah-olah gua meninggal, terus gua nyamar jadi cupu, aman kan." Gadis itu menyeringai kemudian segera menyantap makanan yang sudah berada di atas meja.

***

Febri menetap gelapnya hutan dengan diam. Matanya menatap kosong ke arah depan. Ia ingin kembali melihat darah. Ia beralih menumpukan kedua tangan di atas meja kaca yang sudah dipenuhi daging cincang. Sebenernya ia ingin melihat tubuh manusia yang tercincang di sana, tapi ia tak sanggup melakukan itu. Bukan berarti ia tak bisa membunuh, ia bahkan sangat sering membuat nyawa orang berada di ujungnya, tapi ia tak sampai membunuh, hanya membuatnya menderita, jika ia ingin melihat orang itu mati, maka anak buah ayahnya lah yang ia tugaskan, bukan dirinya. Tubuhnya tak mampu untuk melanggar janji yang pernah terucap. Satu-satunya janji yang pernah dikeluarkan oleh mulutnya selama ia dilahirkan di dunia.

Possessive and Psycho Boyfriend [REPOST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang