24. Punishment 🔪

41.9K 3.7K 949
                                    


__Ketika aku merasa sudah tak ada lagi rasa cinta__


"Saya telat, Buk." Laki-laki itu menyembulkan tubuhnya, berjalan dengan santai memasuki kelas tanpa rasa segan apalagi merasa bersalah.

Buk Susi yang tengah mengajar hanya mengangguk kaku menatap Febri yang berjalan mendekati Vani, duduk tanpa beban menumpahkan minuman kalengnya di atas buku Vani.

Gadis itu tersentak dan kaget melihat Febri yang tiba-tiba sudah duduk di sampingnya. Memang sedari tadi ia melamun, setelah kejadian ciuman dan dipergoki oleh Farel tadi, laki-laki itu memarahinya habis-habisan bahkan sempat hampir menampar dirinya sangking marahnya, untung saja ada Naya, jika tidak, sudah tamat riwayat pipinya.

"Punishment awaits you, Baby," bisik Febri mengedipkan sebelah matanya kemudian tersenyum miring. Laki-laki itu mengelus rambut Vani lembut kemudian menariknya kuat tanpa ada yang mengetahui kecuali Vani sendiri dan kedua sahabat Febri yang sedari tadi terus memperhatikan.

"Akh, sakit, Feb ...." Vani merintih pelan. Ia berusaha melepaskan tangan Febri yang terus menarik rambutnya kuat. Air matanya menetes melihat Febri yang tertawa senang. Ia tak tahu apa salahnya dan kenapa Febri memperlakukannya seperti ini? Isak tangisnya mulai terdengar lirih bersamaan dengan suara bel pergantian jam pembelajaran menggema di seluruh penjuru sekolah.

"Cup, cup, cup, jangan nangis. Ini cuma pelan kok," bisik Febri mengecup pipi Vani lembut. Ia tersenyum miring kemudian menghempaskan tubuh Vani membentur dinding di sebelah kirinya.

Vani meringis ngilu. Ia sudah tak lagi mampu menahan isak tangis hingga suara tangisnya terdengar oleh seluruh penghuni kelas.

"Jangan nangis." Febri menarik Vani ke dalam pelukannya. Menatap penghuni kelas dengan tajam saat mereka menatap penuh kepo.

"Keluar!" desisnya tajam.

Semua menunduk, berjalan keluar kelas dengan jantung ketar-ketir tetapi tidak dengan Daniel dan Alex yang masih setia duduk di tempat. Tak perduli akan tatapan Febri yang seolah menusuk nyali mereka perlahan demi perlahan.

Alex mengunyah apelnya dengan gerakan pelan. "Awas nanti jatuh cinta sama gua, Feb. Natapnya gitu amat. Gua tau, sangking gantengnya gua lo juga terpesona, tapi please dong ya, jangan belok," ujar laki-laki itu kelewat PD. Ia langsung memalingkan wajah saat Febri semakin menatapnya tajam, serasa berada di ujung tebing saja.

Vani diam di dalam pelukan Febri yang terasa begitu menyakitkan. Entah apa salahnya. Ia tak merasa berbuat salah hari ini. Apa karena pergi sekolah dengan Daniel yang menjemput tadi pagi? Atau apa karena ciuman itu? Ia rasa tidak, Febri tidak tahu itu, Vani yakin. Keadaan parkir tadi pagi sangat sepi, dan tidak ada orang lain di sana saat mereka berciuman.

Ada rasa takut dan sesal yang Vani rasakan. Bagiamana bisa ia tak melawan saat mantannya itu mencium dirinya. Bagaimana jika Febri tahu, tamat riwayatnya.

"Satu langkah lo mendekat, gua pastiin, tangis Vani naik satu oktaf!" peringat Febri kala Daniel bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati dirinya.

"Bangun!" Febri menarik Vani untuk berdiri. Mencengkram tangan gadis itu kuat membuat Vani ikut menangis semakin kuat. Apa lagi saat Daniel tak mengindahkan ucapannya, Febri yang telah dikuasai emosi semakin kalut tak menentu. Rasa ingin membunuh mencuat ke permukaan. Ia mengeluarkan teman kesayangan dari balik saku yang membuat Daniel geleng-geleng kepala tak tahu lagi harus dengan apa menasehati Febri.

"GUA BILANG BERHENTI!"

"Innalilahi!" kaget Alex mengusap dadanya lantaran kaget bukan main mendengar teriakan Febri.

Possessive and Psycho Boyfriend [REPOST]Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ