47. Frengky Beraksi (2) 🔪

20.9K 2.9K 1.3K
                                    

Gelapnya malah dan dinginnya angin malam yang berhembus kencang menerpa tubuhnya tak membuat sosok laki-laki yang tengah menatap langit dengan bermain gitar itu kedinginan.

Sorot matanya penuh akan rasa kehilangan. Baru kali ini ia percaya, bahwa rasa rindu itu memang benar-benar menyakitkan

Helaan napas terdengar, dia terlihat memejamkan mata dan tak lama terbuka. Fokus matanya kini beralih pada balkon kamar yang ada di sebrang sana.

Dia terkekeh hambar lalu tersenyum kecut. "Gua kangen lo, bangsat lah," umpatnya dengan wajah lesu. Sudah seharian ia uring-uringan, ia ingin pergi ke Jakarta, tapi ayahnya melarang.

"Woyilah, galau amat, Bang," goda seorang pria yang entah sejak kapan sudah berada di ambang pintu.

Ican tak menanggapi. Ia memanyunkan bibir kesal membuat sang ayah terkekeh.

"Udah tidur sana, udah malam. Lagian kamu tuh harus terbiasa, nggak mungkin kan kamu kayak gini terus, kangen dikit langsung cus ke Jakarta. Makanya, kalau cinta itu bilang dari awal."

"Ck, Ican nggak cinta sama dia," bantah laki-laki itu menatap ayahnya jengkel. "Cuma nggak terbiasa aja, biasanya dari melek mata sampai malam kan tuh bocah ngerepotin," dengkus laki-laki itu malas.

"Halah bacot, bacoot. Kalau nggak bisa dapatin kakaknya, adeknya juga boleh, Can. Besarnya cantik tuh," saran ayahnya membuat Ican semakin kesal.

"Yang bener aja, masak sama bocil. Ayah pikir aku ini pedofil?"

"Nggak gitu juga lah, tapi kalau lebih muda kan lebih wow gitu. Kamu dah keriput dia masih bening, sehat tuh mata kamu jadinya."

"Udah deh, mending ayah pergi. Tidur sana, udah malem." Ican bangkit dan mendorong ayahnya keluar dari kamarnya. Ia mengunci pintu lalu membuang napas kasar.

Lelah sudah mulai terasa membuat matanya pun dilanda kantuk, dia menghempaskan tubuh di atas kasur dan memejamkan mata hendak menjelajahi alam mimpi.

Suara grusak-grusuk dari arah balkon membuat niatnya terurung.

"Siapa?" Dia berjalan mendekati balkon lagi, melupakan niatnya yang hendak bobok ganteng. Dia tampak terkejut kala melihat seorang gadis dengan rambut yang tak terlalu panjang berdiri di hadapan, dan air mata pun tampak mengalir deras di pipi gadis itu.

Ican langsung membalikkan tubuh. Dalam hati ia meruntuk. Gini nih kalau rasa rindu sudah menggila. Mbak Kunti di matanya terlihat mirip Vani. Astaga, ia harus segera memberi tahu ayahnya untuk mengadakan pengajian di rumah. Sudah beberapa hari ini ia di ganggu oleh Mbak Kunti, dari bau bunga kantil dan segala macamnya.

"Pergi jauh-jauh lo, Kun. Mau gua bacain ayat kursi?" tanya Ican tanpa menoleh. Ia tampak siap-siap mengunci pintu balkon jika saja ia tak sadar bahwa di hadapannya adalah Vani.

"Ya udah gua pergi, pergi untuk selama-lamanya."

"Eh, nggak gitu!" Panik, Ican langsung berlari memeluk tubuh gadis itu erat. Gila saja, masa iya Vani mau lompat dari balkon kamarnya, udah sering di ganggu Kunti, masak iya besok mau digentayangi lagi oleh hantu Vani. Kan ngeri. Duh, membayangkan itu ia benar-benar tak sanggup.

Vani diam. Ia membalikkan tubuh dan memeluk tubuh Ican dengan erat. Melampiaskan rasa sesak di dada. Dia terisak kuat di sana.

Ican melirik ke bawah balkon dan mendapati tangga yang menjuntai ke bawah. Biasanya itu adalah tangga yang ia gunakan untuk ke kamar Vani saat keadaan darurat, seperti saat gadis itu kedatangan tamu bulanan di tengah malam misalnya. Namun, kali ini tangga itu digunakan oleh Vani.

Bukan hanya tangga yang tertangkap di mata Ican, sosok laki-laki yang berjalan santai lalu memanjat pagar dan berakhir loncat pun menjadi hal yang ia lihat. Ia mengeryit kan mata, untuk apa Reyhan berada di sini?

Possessive and Psycho Boyfriend [REPOST]Where stories live. Discover now