10. Rumah 🔪

53.5K 5.4K 451
                                    

Sebelumnya, cerita ini murni pemikiran saya. Tidak ada meniru cerita manapun, dan tidak juga terinspirasi dari cerita lain.

***

"VANI, KELUAR?" Tubuh Vani menegang.

"Anjir, lo kalau punya masalah larinya jangan ke gua, Van!" Farel menggerutu dan langsung berjalan menuju pintu.

Sedangkan Vani berjalan pelan mengikuti Farel. Dalam hati ia berdoa, semoga kali ini Tuhan baik padanya. Ia sudah cukup lelah dihukum oleh Febri terus menerus. Tubuhnya tak sekuat itu untuk selalu menerima hukuman dari Febri.

Saat pintu terbuka, yang terlihat adalah Febri dengan tatapan penuh kemarahannya. Vani menunduk tak berani menatap laki-laki itu saat Farel memiringkan tubuh untuk melihat dirinya.

"Gadis bandel!"

Farel langsung memukul perut laki-laki itu kuat saat dengan tidak berperasaannya dia menarik Vani kuat hingga membentur sisi pintu.

"Bisa lembut sedikit enggak?! Kalau nggak bisa, lebih baik nggak usah punya pasangan sekalian. Lo kira tubuhnya mati rasa dan nggak bisa ngerasain sakit kalau lo perlakuin kasar kayak gitu?!" Farel mengeratkan rahangnya, tanganya kembali memberikan pukulan kuat pada perut Febri.

Febri tertawa hambar. Dengan sekali tarikan, ia berhasil membawa Vani mendekat ke tubuhnya. Gadis itu hanya menangis dalam diam merasakan sakit di dahinya. Ia memejamkan mata tak perduli akan darah yang mulai keluar.

"Nggak usah belagak nasehatin gua, kita sama-sama brengsek. Cuma caranya aja yang beda."

Farel mengepalkan kedua tangannya sementara Febri hanya menatap dengan tersenyum remeh. Ia merangkul bahu Vani untuk segera pergi dari depan apartemen Farel.

"Nggak mau! Apartemen kamu bau darah!" Vani mencengkram bahu Febri. Ia menggeleng tak ingin kembali ke apartemen itu.

"Darah?" Mata Febri memincing, tanahnya beralih untuk menangkup wajah gadisnya. "Darah apa?"

Sebelum Vani menjawab, Farel sudah lebih dulu menarik Vani. "Kalau lo gila, jangan bawa sepupu gua!" Ia menutup pintu apartemennya dengan kasar.

"Mau tidur sendiri atau sama Naya aja?" tanyanya sembari mengusap pipi Vani yang basah.

"Sendiri aja," jawab Vani dengan sesegukan. Ia yakin, pasti Febri akan datang nanti. Bersiap saja hukumannya akan bertambah dua kali lipat.

"Yakin?"

"Iya! Gua mau tidur sendiri, Bang Rel!" Gadis itu berteriak frustasi membuat Farel terdiam.

***

Febri mengumpat. Ia langsung melangkah menuju apartemennya. Berjalan mendekati sebuah ruangan yang ia yakin tempat asal darah itu tercium.

"Sialan!" Ia mengumpat saat melihat mayat yang sudah tak terbentuk lagi. Tangannya segera merogoh saku celana untuk mencari benda pipih bermacam manfaat itu.

"Bagaimana di apartemenku ada mayat, Ded?!"

"...."

"Aku tidak pernah membunuh!" Napas laki-laki itu memburu, jiwa liarnya terasa sangat ingin dipuaskan melihat darah berceceran di mana-mana.

Possessive and Psycho Boyfriend [REPOST]Where stories live. Discover now