17. Susu Coklat 🔪

47.8K 4.8K 1.1K
                                    

Vani menghela napas lelah. Ia masih berusaha fokus pada hukuman yang Febri berikan, sementara laki-laki itu sendiri tengah asik bermain game di ponselnya. Serasa ingin menyeleding kelapa Febri, tapi ia sadar, ia tak sehebat itu. Bahkan, dalam urusan berkelahi, Tasya lebih hebat darinya.

"Feb, capek ...." Vani merengek pelan, menatap Febri yang asik sendiri dengan kegiatannya yang menyenangkan.

"Hm ...." Febri mengelus rambut Vani sebentar kemudian mencari posisi ternyaman untuk melanjutkan gamenya.

Vani mengumpat pelan. Ia kembali fokus pada laptop dan juga buku big bos yang ada di depannya. Sudah hampir tiga jam ia menulis tugas yang isinya sudah di share di grup kelas.

Tugas sekolahnya menumpuk dan Febri menyuruh dirinya untuk menuliskan milik laki-laki itu juga. Jika isinya cuma selembar Vani tak masalah, lah ini, hampir setengah buku.

Guru gila yang memberikannya tugas ini, walau sebenarnya tugas ini telah diberikan sejak dua bulan yang lalu, tapi ia kan siswi baru, kenapa harus dipaksa mengumpulkan besok juga.

"Febri ...."

"Istirahat dulu, nanti lanjutin." Laki-laki itu sama sekali tak menatap gadisnya saat berbicara membuat mulut Vani mati-matian ditahan agar tak mengumpat.

"Kamu harusnya itu bantuin aku! Nggak main game ka--"

"Berisik! Masih mending aku kasih hukuman kamu ini." Laki-laki itu melirik Vani sinis kemudian kembali fokus ke ponsel.

Vani menggeram kesal. Ia telungkup kan wajahnya di atas meja kemudian mengumpat pelan. Tangannya terasa lelah. Biasanya kan tugasnya dituliskan orang bayarannya Ican, atau saat ia sangat mager, laki-laki dengan tingkat pengertian yang sangat tinggi itu mengerjakan seluruh tugasnya.

Sebenernya, alasan Vani ingin mandiri saat tinggal di Bogor dulu hanyalah omong kosong belaka. Ia hanya ingin tetap bersama Ican dan juga mengejar gebetannya waktu itu.

Perjuangan Vani tak main-main. Rafa yang semula melarang keras dirinya untuk tinggal beda rumah, beda daerah akhirnya luluh juga, tapi jujur saja, tinggal jauh dari ayahnya itu, uangnya bukan malah banyak, tapi malah sedikit.

Revan yang satu bulan diberi 150 JT, dirinya hanya 3 JT, sangat berbeda jauh. Kadang ia iri, dan Rafa akan mengatakan, "Tinggal sama ayah, ayah kasih uang yang sama."

"Masih banyak?" Febri menaruh ponselnya dan meraih buku yang tengah Vani tulis.

"Tinggal dikit, paling sepuluh lembar. Lanjutin lagi gih, aku temenin." Febri mengecup kepala Vani pelan sembari menatap layar laptop.

"Capek tau nggak?!" kesal Vani menyandarkan tubuhnya di bahu Febri.

"Nggak." Febri menyahut santai tanpa dosa membuat Vani mencebikkan bibirnya kesal.

"Udahlah, hukum pakai pisau aja. Capek aku tuh." Vani merentangkan tangannya di depan wajah Febri. Lebih baik tangannya digores saja dari pada dipatahkan secara tidak langsung oleh Febri.

"Cih." Febri berdecih. Dasar perempuan. Giliran diberi hukuman pisau katanya kejam, diberi hukuman ringan hanya dengan mengerjakan tugas mintanya yang simpel, goresan. Andai ia tak normal, sudah suruh Daven membasmi makhluk bernama perempuan itu.

"Jangan buat aku khilaf, sampai motong tangan kamu."

Vani meringis ngilu. Ia segera menurunkan tangannya dan kembali melanjutkan hukumannya.

"Orang khilaf itu satu kali dua kali, Feb. Kalau lebih bukan khilaf lagi namanya."

"Terus apa?"

Possessive and Psycho Boyfriend [REPOST]Where stories live. Discover now