13. Meracuni 🔪

52K 5.1K 1.1K
                                    

Umur Daven aku rubah jadi 15 tahun, biar pas 10 THN jaraknya sama Tasya.

Vote dulu dong

Mohon dimaklumi jika ada typo

Yang pintar fisika sini dong, tunjukin PR gua, kelas X

Happy reading

Hal paling memuakkan bagi Vani adalah melihat wajah Febri saat membuka mata. Matanya kembali terpejam menahan rasa sakit saat satu kaki Febri menindih betisnya yang tadi malam di tusuk pisau. Rasa sakit itu menjalar membuat kepalanya terasa pening. Apa yang bisa ia lakukan? Tidak ada, ia hanya berusaha untuk tak mengeluarkan suara sedikitpun yang bisa membuat tawa penuh kemenangan Febri terdengar kembali.

Berusaha sabar, siapa tau ia akan terbiasa dengan keadaan seperti ini. Vani tertawa hambar di dalam hati saat bisikan pernyataan mencintai Febri terus mengganggu telinganya.

"Kenapa lama sekali?" Febri yang sedari tadi menunggu Vani bangun menggeram kesal saat gadisnya tak jua bangun. Ia merengkuh tubuh mungil itu dengan erat seolah tak ingin membiarkan tubuh itu menganggur. "Bangun, Sayang. Kita harus pergi dari sini sebelum kakek tahu," bisiknya tapi Vani masih diam seolah tak terusik sama sekali dari tidurnya.

"Apa terlalu sakit?" Febri bergumam kecil sembari menyentuh luka di pipi gadisnya. "Padahal aku sudah bermain-main sangat lembut," gumamnya kembali.

Lembut gundolmu!

Ingin sekali Vani mengatakan itu, tetapi ia tak ingin kembali mendapatkan hukuman dari Febri. Tubuhnya bahkan masih terasa sakit, ternyata semalam bukan hanya sampai di situ saja, saat dirinya tak juga berhenti menangis dan tidur, Febri mengeluarkan senjata kecilnya--silet untuk membuat goresan-goresan kecil di perutnya. Bahkan rasa sakit itu sampai kini masih sangat terasa.

Febri menatap wajah Vani yang terlihat lelah dan penuh jejak tangis membuat salah satu sudut bibirnya tertarik ke atas. "Semakin cantik," gumamnya. Jika saja ada tiga goresan di pipi kanan dan tiga goresan di pipi kiri, pasti gadisnya akan terlihat semakin cantik.

Katakan saja Febri gila, karena dia memang gila. Tidak ada di dunia ini yang bisa mengerti akan dirinya termasuk ayah, kakek, dan sahabatnya sendiri.

"Aku mencintaimu." Ia kembali berbisik membuat dunia pun bertanya. Apa kah seperti itu yang dinamakan mencintai? Itu bahkan terlihat seperti obsesi semata.

Bibir Febri mendarat lembut pada luka yang ia ciptakan di wajah Vani. Tangannya melilit perut perempuan itu dengan sayang. Terasa begitu nyaman, sudah lama Febri tak merasakan seperti ini, pelukan yang memberikan rasa nyaman dan juga ketenangan.

Tanpa sadar Vani terisak membayangkan nasibnya yang jauh dari kata baik membuat Febri sedikit terkejut.

"Apa ada yang sakit?" tanyanya penuh perhatian. Ia menjauhkan wajahnya dari wajah Vani agar dapat melihat wajah itu secara keseluruhan.

Vani diam sembari terus terisak membuat Febri uring-uringan.

"Katakan! Kau kenapa? Kenapa menangis? Apa masih sakit?" tanyanya menangkup wajah Vani lembut. Tatapan kosong Vani membuatnya merasa bersalah. Ya, ia akuin ia salah karena telah terlalu banyak membuat tubuh Vani terluka, tapi bagaimana lagi, ia khilaf. Salahkan saja Vani yang terus menguji kesabarannya.

"Sayang ... kamu kenapa? Mau apa?"

"Aku benci kamu!" teriak Vani kesal sembari memukul dada Febri kuat. "Aku mau kamu mati! Mati!" teriak gadis itu nyaring. Ia benar-benar menginginkan Febri pergi dari hidupnya.

Napas gadis itu memburu, ia menutup wajahnya menggunakan jemari. Apa lagi yang ia katakan?! Pasti perkataan itu akan membuat Febri marah.

"Jikapun aku mati, aku akan membawamu," bisik Febri santai. Ia kembali memeluk tubuh Vani dengan erat. "Kau marah padaku?" tanyanya kemudian tertawa persis seperti orang gila. "Kau sakit hati? Kau tak terima? Kau ingin balas dendam?" tanyanya lagi sembari mencengkram pinggang Vani kuat membuat gadis itu semakin menangis tiada henti.

Possessive and Psycho Boyfriend [REPOST]Where stories live. Discover now