37. Rumah Daniel🔪

25.1K 3.2K 1.1K
                                    

Jam masih menunjukkan pukul delapan malam dan Vani sudah tidur. Lukanya di perut sudah Febri obati.

Kini laki-laki itu dengan santainya membelai pipi Vani tanpa merasa bersalah. Untuk apa merasa bersalah? Ia rasa apa yang ia lakukan itu sudah benar. Semua itu untuk kebaikan Vani agar gadis itu jera, karena apa? Ia tak suka kesalahan diulang untuk kedua kalinya. Hukumannya pasti akan lebih berat jika kesalahan yang sama terulang kembali.

Febri ikut memejamkan mata saat teringat sesuatu. Ia harus menyingkirkan seseorang dari dunia ini, tapi apakah ia harus menyingkirkan dengan tangannya sendiri atau menyuruh Daven?

Jika ia membunuh sendiri, maka terpaksa ia mengingkari janjinya dengan sang ibu, tapi rasanya tidak puas jika Daven yang harus menghabisi anjing kecil itu.

"Aku akan mengingkari janjiku demi dirimu, karena kamu milikku, hanya milikku," bisik Febri menggerakkan hidupnya di pipi Vani dengan gerakan naik turun.

Dengkuran halus dan wajah damai gadis itu membuat Febri benar-benar tak bisa memalingkan wajah dari gadis itu.

"Aku sebenarnya marah padamu, Sayang," bisik Febri menarik Vani semakin dalam ke dalam pelukannya. "Kenapa kau pernah begitu mencintainya hingga harus membuat orang lain celaka?" lanjutnya. "Harusnya itu untukku!" desis Febri tajam.

Tatapannya kini dipenuhi kabut amarah. Ingin sekali ia memberi pelajaran pada Vani akan hal itu, tapi Febri masih sadar diri, dirinya yang telat menemukan Vani. Jika tidak, sudah pasti Vani menjadi miliknya dari lama.

"Febri, sakit ...," rengek Vani saat perutnya terus tergores tubuh Febri.

"Apanya?" tanya Febri khawatir. Ia melonggarkan pelukannya dan menatap Vani panik.

Vani mengembuskan napas kasar. Ia meraba perutnya kemudian kembali membuang napas. "Aku pelukan sama sepupu aku kamu marah, awas aja kalau kamu pelukan sama perempuan lain, aku bunuh diri."

Mata Febri melotot, rahangnya mengerat mendengar perkataan Vani. "Sekali lagi kamu nyoba bunuh diri, aku nggak bakal kasih kamu ampun." Febri menatap tajam. Ia mencengkram rahang gadis itu membuat Vani meringis kesakitan.

"Kamu tau? Kenapa aku lebih milih bunuh diri dari pada hukum kamu kayak yang kamu lakuin ke aku?" tanya Vani sendu saat Febri melonggarkan cengkramanya.

"Karena kamu nggak bakal bisa hukum aku," sahut Febri tersenyum remeh membuat air mata Vani lolos.

Vani mengulurkan tangan menarik leher Febri untuk ia peluk. "KARENA AKU SAYANG SAMA KAMU, KARENA AKU CINTA SAMA KAMU!" teriak Vani membuat telinga Febri berdengung. "Aku nggak bisa lukai kamu, luka kamu luka aku ...," lirih Vani, tangisnya semakin menjadi membuat hati Febri teriris mendengar tangis itu.

"Van--"

"DIAM!" bentak Vani membuat kedua bibir Febri mengatup rapat. Ia memelas pelukan Vani tanpa bisa menjabarkan apa yang ia rasa, ada senang tapi terasa menyakitkan juga melihat gadisnya menangis sesegukan seperti ini.

"Maaf." Walau lirih dan nyaris tak terdengar, Vani menangkap kata itu dengan baik. Matanya terpejam saat Febri menghujani kepalanya dengan kecupan-kecupan ringan.

Febri mengeratkan pelukannya. "Aku sayang kamu, banget," bisiknya membuat Vani lagi-lagi berfikir.

Yang Febri ucapkan itu memang benar tulus dari hati atau hanya omong kosong belaka?

"Aku mau ke toilet sebentar, kamu jangan kemana-mana. Ngerti?" Febri mengelus rambut Vani setelah melepaskan pelukannya.

Vani bergumam tak jelas dan setelah itu Febri pergi meninggalkan ponselnya di atas nakas, tepat di samping lilin yang ia bawa.

Possessive and Psycho Boyfriend [REPOST]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora