4. Pingsan 🔪

74.6K 6.5K 1.1K
                                    

"Feb ...." Tubuh Vani terduduk lemas membuat Febri menaikan sebelah alisnya. Ia membuang pisangnya ke dalam tong sampah dan berjalan mendekati Vani yang menangis ketakutan sembari menyembunyikan wajah pada kedua lututnya.

"Aku cuma nanya, kenapa nangis sih?" tanyanya mengangkat tubuh gadis itu dan mendudukkannya di atas kursi. "Ada yang sakit?" Ia kembali bertanya sembari mengusap rambut gadis itu dengan lembut.

Vani menggeleng, kepalanya tertunduk tak berani menatap Febri. "Takut ...," lirihnya membuat Febri tersenyum miring. Inilah tujuannya, Vani takut padanya. Dengan begini, Vani tak akan berani membantahnya.

"Udah nggak usah nangis! Mau rasa apa susunya? Coklat?" tanya Febri mengankat dagu Vani lembut.

"I-iya," jawab Vani gugup saat Febri mengusap pipinya lembut.

"Ya udah, aku buatin," ujar laki-laki itu dengan menyematkan satu kecupan pada puncak kepala Vani. "Jangan coba-coba untuk kabur! Kamu nggak bakal bisa lepas dari aku, kamu milikku, hanya milikku. Aku nggak segan-segan buat motong kaki kamu kalau kamu nyoba kabur nanti. Aku nggak keberatan punya istri cacat nantinya."

'Mati ajalah gua!'

***

Perlahan, kelopak mata yang semula tertutup kini terbuka. Gadis cantik yang masih bergelung dengan selimut tebal dan pelukan hangat dari laki-laki yang tertidur di sampingnya itu menggeliat.

Matanya terbuka lebar dan mendapati Febri yang masih nyaman di dalam tidurnya. Ia meringis saat luka pada punggungnya terasa sakit ketika Febri mengeratkan pelukannya.

Vani melepaskan tangan Febri dari punggungnya membuat mata laki-laki itu terbuka dengan rahang yang mengerat. Vani meneguk ludahnya kasar. Apa lagi salahnya?

"Kenapa hm?! Aku udah pernah ngomong 'kan, jangan tolak apa yang aku lakuin. Kamu pelupa atau tuli?!" bentak laki-laki mencengkram dan menarik lengan Vani untuk kembali mendekat.

Vani meringis saat tangan Febri kembali melilit punggungnya. "Punggungnya sakit, Feb," ujar Vani mencoba menjauhkan tangan Febri.

Laki-laki itu tersenyum miring. "Sakit? Mau ditambah lagi?" tanyanya membuat Vani menggeleng cepat.

"Itu udah jadi konsekuensinya kalo kamu bandel. So, jangan protes! Andai kalau tadi malem kamu nurut tanpa nolak, nggak bakal aku gores punggung kamu." Febri melepaskan cengkeramannya, memeluk dengan lembut tanpa membuat luka itu kembali menganga.

Vani diam, ia hanya terisak di dada bidang Febri yang masih senantiasa mengelus lembut rambutnya. Perlakuan laki-laki yang mendekapnya terlalu cepat berubah. Terkadang kejam bak iblis dan terkadang lembut seperti sutra.

Febri ikut diam, membiarkan Vani menangis. Sebenarnya, ia lupa luka pada punggung itu. Sebenarnya juga ia ingin meminta maaf, tapi ia tak mau terlihat salah. Egois memang.

"Sial," umpat Febri kala melihat punggung Vani kembali berdarah. Sepertinya, ia menggoreskan pisau itu terlalu dalam semalam.

Ia segera melepas pelukannya dan duduk. Menatap Vani yang kini beralih memeluk guling seraya meringis kesakitan saat tangannya bergerak menyentuh punggung itu lembut. Ada rasa iba dan tak rela melihat gadis itu kesakitan. Ia segera berdiri dan keluar dari kamar. Berteriak memanggil maid untuk mengobati luka pada punggung Vani. Tidak mungkin jika ia yang mengobati. Ia laki-laki.

"Cepat!" bentaknya membuat wanita paruh baya yang tengah berjalan terburu-buru itu semakin mempercepat langkahnya.

"Ba-ba-baik," jawabnya takut. Ia segera berjalan memasuki kamar Febri dan segera mengobati luka pada punggung malang itu.

Possessive and Psycho Boyfriend [REPOST]Where stories live. Discover now