34. Dor! 🔪

24.5K 3.1K 1K
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Gelisah, itu yang Vani rasakan sekarang. Ia melangkah cepat memasuki kamarnya yang berada di rumah Rafa. Dari gelagatnya, Febri menjadi curiga melihatnya.

"Kenapa?" Febri menahan tangan Vani saat gadis itu hendak menutup pintu kamar mandi.

Vani menatap Febri gelisah. Ia menarik napas kemudian menghembuskan secara perlahan. "Aku nggak papa."

Kata Alex, kalau cewek bilang nggak papa itu berarti ada apa-apa.

Febri membiarkan Vani masuk ke dalam kamar mandi. Febri pikir, mereka bisa menikmati sunset tadi, tapi nyatanya tidak. Vani meminta secara terburu-buru untuk pulang. Awalnya Febri menolak, tapi karena wajah Vani yang pucat lantaran takut, Febri akhirnya setuju.

Sayangnya, Febri tidak seperti Daven yang bisa membaca pikiran orang lain. Daven memang tercipta benar-benar seperti malaikat maut, tidak ada korban yang bisa lolos darinya, karena bantuan dari kelebihannya itu.

"Jangan lama-lama," kata Febri dan disahuti kata iya oleh Vani.

Febri menghempaskan tubuhnya di atas kasur dengan kedua mata terpejam. Kemudian tak lama terbuka, diliriknya layar ponsel yang berdering, ia mengeratkan rahang melihat si pengirim pesan dan penelpon.

[Lepaskan atau mati?]

Teror lagi? Febri bergumam pelan melihat pesan itu. Sebenarnya, sedari tadi--saat ia tengah memainkan game--seseorang memang terus mengirimkan pesan berisi ancaman padanya.

[Mau kafan motif apa?]

Febri mengirimkan balasan itu.

[Mau mati pakai apa? Pisau? Kampak? Binatang buas? Atau tangan kosong?]

Sementara di dalam kamar mandi Vani mengusap wajahnya kasar. Ia terduduk lemas berusaha mengontrol dirinya, sudah lama ia menghindar tetapi kenapa harus bertemu?

Kepala Vani mendadak ingin pecah. Ia tak mau dipenjarakan, meski Ican mengatakan dia akan bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan, tapi tetap saja ia takut. Apalagi sampai Ican lagi-lagi mengorbankan diri untuknya.

"Ican, gua takut banget." Vani bergumam pelan. Kepalanya mendadak pening, kedua matanya terpejam menetralisir rasa pening itu.

"Apa dia ke sini mau nyari gua?" Vani semakin gelisah tak menentu, dulu saat ia masih berpacaran dengan Refli, laki-laki itu mengatakan semua akan baik-baik saja selagi ia mengikuti kata-kata laki-laki itu, tapi sekarang, apa keadaaannya masih akan tetap sama?

"Nggak, nggak! Febri nggak bakal biarin gua dipenjara." Vani menghembuskan napas kasar dan segera keluar dari dalam kamar mandi.

Melihat Febri tengah berbaring di atas rahangnya, Vani langsung merebahkan tubuhnya di samping Febri.

"Udah siap hm?" Febri mengelus surai hitam Vani saat gadis itu memeluknya erat.

"Febri aku takut ...." Vani berujar lirih membuat Febri menautkan alis bingung.

Possessive and Psycho Boyfriend [REPOST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang