35. Freya, Frengky! 🔪

23.3K 3.2K 605
                                    

Dor!

Bunyi yang cukup kuat itu membuat Vani spontan memeluk leher Febri antara terkejut dan takut. Jantungnya terpacu cepat membuat rasa takut semakin terasa pekat.

Napas Vani tak beraturan, dadanya naik turun tak teratur. Keringat dingin keluar begitu saja hingga tangan Febri melingkar di pinggangnya guna memberikan rasa nyaman.

"Cuma bunyi balon pecah, kenapa takut banget hm?" Febri berbisik lembut, ia mengelus punggung gadisnya itu, tapi siapa sangka, ia punya dendam kesumat pada sosok anak kecil yang kini tengah berdiri di sisi pintu sembari cekikikan tak jelas.

Tasya sang pelaku pemecah balon secara diam-diam itu tertawa senang tapi juga tak terima melihat salah satu koleksi cogannya memeluk perempuan lain.

"Kak Pani lemah," ejeknya mengabaikan tatapan tajam dari Febri untuknya.

Vani mengangkat wajahnya dan menatap Tasya dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Perempuan itu terlalu takut dengan hal-hal yang mungkin saja terjadi.

"Berisik!" maki Febri kesal. Melihat ketakutan Vani membuat ia menjadi tak tega menghukum gadis itu lagi. Hatinya ikut teriris melihat ketakutan yang terpancar dari mata gadisnya. Sayangnya, ketakutan itu bukan lagi untuknya tapi untuk orang yang sama sekali belum ia ketahui.

"Are you okay?" Febri mengusap peluh di dahi Vani dengan lembut, membantu gadis itu untuk duduk dengan benar.

"Peluk, aku butuh pelukan kamu." Vani menatap Febri sendu.

"Kemari!" Febri merengkuh tubuh Vani lembut melupakan kemarahannya tadi membuat Tasya yang berada di depan pintu itu hanya memasang wajah kesal.

Tasya mulai beranjak naik ke atas kasur kemudian berusaha menerobos paksa agar bisa berada di tengah-tengah kedua sejoli yang tengah berpelukan itu.

"Ganggu banget nih, bocil," gumam Vani pelan membuat Tasya yang mendengarnya menjulurkan lidah.

Febri berdecak sebal kemudian segera bangkit membuat Tasya cemberut begitu pula dengan Vani, tapi masa bodo. Ia bisa memintanya pelukan Febri nanti tanpa ada setan kecil ini.

"Siapa yang kamu telpon tadi?" Tatapan Febri mulai mengintimidasi membuat Vani kembali teringat akan hukuman yang belum sempat menyentuh kulitnya.

"Ican," jawab Vani jujur.

"Nggak usah bohong, suara itu bukan suara Ican." Febri semakin menajamkan matanya dengan kedua tangan terkepal kuat. Ia tak bisa membendung rasa cemburu.

"Yang ngangkat temennya Ican, Azik." Vani kembali menjawab, tapi kali ini dengan menunduk kembali ketakutan.

Kabur, kata itu kembali terlintas di benak Febri membuat api-api kemarahan kembali datang tanpa di minta.

Rasanya Febri sudah muak dengan percobaan Vani yang selalu ingin kabur darinya. Rasa ingin memotong kaki gadis itu di dalam dirinya semakin besar, tapi tak mungkin ia melakukan itu. Bagiamana jika Vani nekat bunuh diri. Ia tak bisa membayangkan itu.

Febri menghembuskan napas kuat-kuat kemudian merunduk. "Mau sejauh apapun kamu lari, kamu nggak bakal bisa kabur dari aku," bisik Febri membuat Vani menggeleng.

"Aku nggak ada niat buat kabur!" bantahnya tapi tak Febri hiraukan. Laki-laki itu keluar kamar dengan membanting pintu kuat-kuat, sebelum akhirnya ia mengunci pintu itu dari luar.

"Bang Pebli lagi malah ya?" tanya Tasya menatap kakaknya itu dengan tatapan penuh binar. Bibit-bibit pelakor benar-benar ada di diri anak itu, membuat Vani harus was-was.

"Kamu pulang sama siapa?" Vani memincingkan matanya menatap sang adik yang kini tengah berbaring dengan santainya.

"Sama bang Palel," jawab Tasya seadanya. Ia menaruh tangan di bawah tubuhnya agar tak terlihat jejak luka yang masih segar di sana.

Possessive and Psycho Boyfriend [REPOST]Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ