Menginap

6.5K 408 14
                                    

Harrir melempar tas besar berisi bajunya ke sembarang arah. Ia berlari menuju sofa besar di ujung kamar dan melompat.

"Ma'assalamah byebye jami'ahh¹!!"" Harrir menelungkup dengan kakinya yang terangkat ke atas. Kaus kaki kotor itu terlihat jelas.

Zahra menendang tas Harrir. "Simpen yang bener kek! Heurin²!"

Harrir menggumamkan sesuatu namun tak terdengar. Zahra mendelik jutek. Muthi masuk dan mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kamar. Jawad sudah tergeletak di atas kasur, matanya terpejam namun tidak tertidur. Mehri berada di pojok kamar, bersandar ke bantal besar dan ia sedang membuka laptopnya. Nafisa masih bersama nenek di ruang tengah, sedangkan Zahra kini duduk melamun di sisi ranjang. Muthi masuk dan berdiri di sebelah Mytha, ikut membuka lemari dan membereskan baju.

Tak lama, Ali masuk membawa sekantong besar makanan ringan. "Lah? Udah pada menggoler aja?" tanyanya heran.

"Ngagoler³," koreksi semua orang.

Ali mengangkat bahu cuek. Ia menghampiri sofa namun Harrir buru-buru meluruskan kakinya. Sehingga Ali tidak kebagian sisa tempat duduk. Ali mendekati ranjang, namun Zahra langsung tidur terlentang, menghabiskan kasur.

"PAREDIT ÉH!⁴" seru Ali gusar, lalu menunduk menatap sekantong besar makanan ringan di tangannya yang sudah ia beli dengan uangnya sendiri. Lalu ia pun berujar, "Yaudah ini makanan semua buat gue aja."

"WEEEY GAK BISA GITU!" Harrir terlebih dulu memprotes. Dengan secepat kilat Harrir berlari menerjang Ali yang buru-buru memeluk kereseknya.

"Balas dendam itu gak baik," Jawad bangkit. Matanya mengerjap-ngerjap mengantuk.

"Kejahatan itu harus dibalas dengan kebaikan," sambung Zahra, masih terlentang.

"Memberi jangan mengungkit," lanjut Muthi seraya menoleh pada Ali.

"Tenang, Li. Orang yang terdzalimi doanya dikabul kok," ucap Mytha mencoba menenangkan Ali. Tapi Ali malah menekuk wajahnya. 

"Innamal a'malu binniyat!" Harrir berkata dengan menggerak-gerakkan tangannya seolah sedang ceramah. Jiwa santrinya kembali berkobar.

"Teteh?" ujar Jawad, melirik Mehri, adik perempuannya yang sibuk berkutik dengan laptop di pahanya. Semua terdiam, menunggu giliran Mehri yang akan melontarkan kata-kata bijak miliknya.

"Hmm," sahut Mehri datar.

"Yaaahhh!" keenam sepupu mengeluh, Mehri hanya merespon dengan tersenyum tipis.

⚰️⚰️⚰️


"Mana bebenyit⁵ téh?" Suara Pak Aki menarik perhatian semua orang yang ada di meja makan. Seorang kakek yang mengenakan topi berwarna putih baru saja masuk dari pintu belakang. Rupanya beliau baru saja memeriksa ayam-ayamnya di kandang.

"PAK AKII!" Nafisa yang lebih dahulu berteriak. Ia pun menyalami Pak Aki, disusul dengan yang lainnya.

Muthi dan Zahra menyalami Pak Aki namun seketika tangan mereka bertiga sudah saling tarik menarik. Pak Aki selalu melakukan hal itu bila bertemu dengan cucu-cucunya.

"Pak Aki atuh lepasin!" kata Muthi, berusaha melepaskan diri. Zahra tertawa, suaranya terdengar serak.  Ia pun merasa kesakitan karena cengkeraman di tangannya, namun ia menutupinya dengan tersenyum lebar.

Pak Aki pun melepaskan tangan dengan tiba-tiba. Muthi dan Zahra hampir saja terjengkang bila tidak menahan diri.  Mehri, Jawad dan Mytha melakukan hal yang sama, hingga Harrir dan Ali berebut untuk menyalami sang kakek.

Sepersekian detik, Harrir sudah terjatuh ke belakang disusul Ali yang menindihnya.

"Minggir lo!" Harrir mendorong Ali sekaligus.

Ali yang tak terima pun balas mendorong. Harrir mendorongnya lagi, dan mereka saling dorong hanya saja wajah mereka begitu bahagia.

Satu jam berlalu di meja makan dengan berbincang bersama kakek dan nenek.  Kedelapan sepupu ini menceritakan pengalaman masing-masing ketika di sekolah. Nenek tampak bahagia menyambut cucu-cucunya yang datang jauh dari kota, setelah sekian lama tidak berjumpa. Pak Aki melempari Zahra dengan kulit jeruk. Zahra balik melempar namun tidak mengenai tubuh Pak Aki. Suasana rumah nenek begitu hangat dan nyaman.

Setelah itu, mereka menonton TV bersama, membahas berita yang sedang ramai. Hingga malamnya, tepat pada pukul 9 malam, semua orang sudah masuk ke dalam kamar masing-masing.

Mehri menoleh ke kanan dan ke kiri, mendapati suasana di pedalaman ternyata lebih cepat hening dibanding di komplek perumahannya. Terdengar suara-suara binatang malam yang menemani.

"Mau pada tidur?" tanya Mehri di ambang pintu kamar tamu.

"Iya. Udah cape banget tiga jam perjalanan," jawab Mytha, ia baru saja membentangkan selimut.

"Awas awas!" seru Harrir dan Ali, mereka sedang mengapit kasur besar di lengan mereka. Di belakang, Zahra dan Muthi pun sama-sama membawa kasur, hanya saja ukurannya lebih kecil. Mehri menyingkir.

"Kenapa pada tidur di sini semua?" Mehri mengernyit bingung.

"Takut, Teh. Orang kamar depan sama kamar tengah udah jarang ditempatin," ujar Zahra. "Ini 'kan markas besar kita."

"Kenapa Abang Jawad, A Harrir sama Ali gak di sana aja?" tanya Mehri, menunjuk tiga laki-laki yang kini menggerling padanya.

"Enak aja," sahut Jawad dengan nada khasnya.

Mehri mendengus sebal. Ia ingin sekali tidur sendiri untuk menjernihkan pikirannya dari jadwal kuliah yang padat sebelum liburan dimulai. Namun, melihat kamar tamu yang sudah dipenuhi orang-orang, ia pun memilih untuk mengambil kantong laptopnya dan pergi keluar kamar.

"Kemana si breteh?" tanya Muthi, menatap punggung Mehri yang menjauh.

Mytha berkata, "Gak apa-apa. Biarin aja. Beranian dia, mah."

Harrir dan Ali saling tatap dan cekikikan.

"Kenapa?" tanya Muthi, memikirkan apa yang sedang dua sejoli itu tertawakan.

"Liat aja nanti," kata Ali. Tak lama, Ali berseru. "NAH, 'KAN!" Ali pun mengedikkan kepalanya ke pintu kamar. Mehri sudah kembali.

"Gak ada kasur," kata Mehri singkat, sebelum semua orang bertanya lebih jauh. Mereka semua pun tertawa, membayangkan hanya tersisa ranjang kayu tanpa kasur di kedua kamar yang hendak ditempatinya. Kini, Mehri pun memilih untuk tiduran di sebelah Zahra yang sedang sibuk memainkan ponselnya.

"Isshh! Meni gak ada sinyal di kampung mah," keluh Zahra namun nadanya seolah menghina.

Nafisa mendekati Zahra, ikut sibuk menatap layar ponsel yang kini tak berguna.

"Teteh, Nafis ngantuk," ujar Nafisa.

Zahra menoleh. "Yaudah hayu tidur," sahut Zahra, lalu ia menyiapkan bantal untuk adiknya yang berumur lima tahun itu.

Nafisa merebahkan diri sambil memeluk boneka beruang berwarna cokelat. Mata anak itu tak lepas dari jendela kecil di atas tembok. Entah apa yang ia lihat. Yang pasti, Muthi lebih memilih untuk menghadap ke sebelah kanan agar pandangannya tidak beradu dengan jendela itu.

Harrir dan Ali sedang memasang WiFi, sedangkan Jawad sudah masuk ke alam mimpi.

Mytha memanggil, "Muthi."

Orang yang dimaksud menoleh. "Iya, Teh?"

"Gimana aman?" tanya Mytha, ia tampak khawatir.

Muthi mengangguk mantap, walau dalam hatinya berkata hal lain.

Jendela kecil berbentuk persegi panjang itu terus mencoba menarik perhatian Muthi dan Nafisa. Mytha berdiri dan mematikan saklar lampu. Kamar tamu yang luas kini menjadi gelap. Jendela itu terlihat semakin menyeramkan.

Ada kejadian apa besok? Muthi bertanya-tanya dalam hati. Perasaannya jadi tak enak.

BELASUNGKAWA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang