Zahra

2.2K 252 9
                                    

Suara air keran mengucur deras ke dalam ember. Gayung mengambang, perlahan bergetar memutar tersenggol tumpahan air. Lampu kamar mandi menyala, pintunya tertutup rapat, menandakan ada seseorang di sana.

Zahra berdiri di atas lantai dingin kamar mandi. Piyamanya kusut, rambutnya acak-acakan. Ia tidak melakukan apapun selain melamun menatap keran di depannya.

Ia belum juga mengambil air wudhu. Tangannya seolah malas sekali bergerak. Apalagi melihat air yang lebih dingin dari ubin membuatnya bergidik sendiri.

Hingga gayung terbawa keluar dan terjatuh. Air tumpah di sekeliling sisi ember, Zahra buru-buru menutup keran dan menggeser ember untuk berwudhu.

"Ish!" keluhnya dan menyalakan keran lagi. Ia pun mengusapkan air segar itu ke wajahnya yang cantik. Zahra pun selesai wudhu kurang dari dua menit. Ia keluar dari kamar mandi, namun hawa dingin di lorong lebih menusuk dibanding tadi. Zahra benar-benar bergidik sekarang. Ia berjalan ke kamar tamu dan mengeluh lagi. Mukenanya tertinggal di kamar Pak Aki, dimana ada Om Imam dan Tante Aya yang tidur di sana. Zahra tidak ingin mengganggu mereka. Ia pun memutuskan untuk masuk ke kamar tengah.

Bau ranjang kayu tanpa kasur langsung masuk ke hidungnya. Ia mengernyit sembari menyalakan lampu. Lemari kayu yang nampaknya tidak terkunci itu mengundang Zahra untuk membukanya.

Ada banyak tumpukan kain putih di sana. "Banyak banget," gumam Zahra.

Zahra mulai mengangkat satu persatu kain untuk menemukan mukena yang ia cari. Dalam hati ia bertanya-tanya untuk apa Pak Aki menyimpan kain putih sebanyak ini?

"Apa jangan-jangan...." Zahra menyadari bahwa Pak Aki adalah Dewan Ketua Masjid. Pak Aki selalu menyediakan kebutuhan jika ada warga sekitar yang meninggal.

Sekelebat bayangan putih melesat di luar kamar. Zahra menoleh dengan cepat ke arah pintu. Tidak ada siapa-siapa di sana.

Zahra mulai takut. Ia menoleh lagi ke lemari dan meneliti tumpukan kain yang dikiranya adalah kain kafan. Ia sudah berniat untuk kabur dari sana. Namun, saat berbalik ke arah pintu, Muthi lewat dengan memakai mukena putih yang ia cari.

"Eh! Uty!" Zahra melesat keluar, tak sadar di belakangnya pintu lemari sudah menutup sendiri.

"Uty!" panggil Zahra sekali lagi. Muthi berhenti melangkah. Ia berdiri terpaku, tanpa menoleh kepada Zahra.

"Ya?" sahut Muthi. Bulu kuduk Zahra meremang. Ruang tengah rumah Pak Aki seketika menimbulkan hawa yang janggal.

"Ada mukena lagi gak? Mukena Zahra ketinggalan di kamar Tante Aya," jelas Zahra, berharap Muthi bisa membantunya.

Muthi tidak menoleh, masih berdiri membelakangi dengan mukena terusan putih yang menjuntai sampai ke bawah kakinya. Zahra agak membuang muka, mukena seperti itu menang menyeramkan.

"Oh... Ada. Sebentar..."

Zahra mengernyit, suara Muthi terdengar berbeda. Seperti ada angin yang mengikuti setiap kata yang diucapkannya.

Muthi melangkah mendekati kamar depan yang kosong dan membuka pintunya perlahan. Zahra ikut menghampiri.

"Disitu emang ada mukena? Kalau bisa mah jangan yang kayak Uty pake ini. Serem kayak poc--"

Muthi menoleh ke belakang sekaligus. Matanya menatap tajam hingga Zahra terhenyak. "Gak.. Itu gak sompral kok hehe.." kekeh Zahra kikuk, tangannya melambai-lambai memohon ampun.

Muthi pun masuk ke dalam kamar yang gelap itu. Zahra ikut melangkah masuk dan menyentuh saklar lampu yang berada di pinggir pintu.

"Lampunya nyalain atuh, Ty. Emang bakalan keliatan kalau gelap begini?" Zahra berkata seraya menyalakan lampu.

"Akh!" Zahra langsung menutup mulut agar tidak refleks berteriak. Kakinya seketika lemas. Tidak ada siapa-siapa di sana.

Zahra menutup mata, kedua kakinya tidak bisa bergerak, begitu kaku dan tidak bertenaga.

"Astaghfirullah...." bisik Zahra. Ia pun membuka mata dan siap berlari.

Namun...

Sosok bermukena itu berdiri di ujung kamar. Matanya yang hitam melotot ke arah Zahra. Tak berkedip, cekung dan kosong. Mukena putih itu nampak menguning, seolah sudah dipakai bertahun-tahun.

Ia berdiri di ujung sana. Dengan tubuh tinggi dan kain yang menutupi seluruh badannya.

Zahra tersadar dengan apa yang baru saja dilihat. Tetesan keringat mulai mengucur deras dari dahinya.

Sosok bermukena itu perlahan memiringkan kepalanya. Kedua ujung bibirnya tersenyum lebar secara tak wajar.

"Milarian naon, neng geulis?"

"AAAAAAKKHHHHH!!!!!" Zahra berteriak sekuat tenaga. Ia berharap ini semua hanyalah mimpi belaka.

"Zahra! Zahra! Sadar!" Seseorang mengguncang kedua bahu Zahra begitu kencang.

Zahra membuka matanya. Ia masih ada di sana. Di pojok ruangan, tak lagi nampak siapapun yang berdiri. Sosok bermukena itu sudah hilang. Tante Aya sudah memeluk tubuh Zahra yang banjir keringat dengan penuh perlindungan.

"Ta-Tante?" Zahra berkata lirih. Ia menjauhkan diri sekaligus. "Ini bener Tante, 'kan?" tanyanya ketakutan.

"Ini bener Tante, Sayang. Zahra ngapain di sini?" tanya Tante penuh cemas. Zahra terbata-bata, bibirnya bergetar. Tante yang melihatnya menjadi semakin khawatir. Ia pun menarik Zahra keluar dan menutup pintu rapat-rapat. Zahra bisa merasakan sosok bermukena itu masih menatapnya dari sudut kamar.

Ini gak mungkin terjadi... ucap Zahra dalam hati berulang kali.

"Tante... Aku takut... Ada.. ada..." Zahra tidak bisa melanjutkan ucapannya. Ia begitu tertekan.

"Ada apa?" Tante Aya semakin khawatir.

"Ada..." Zahra melirik was-was ke pintu kamar. "Ada yang pake mukena putih di sana..."

Tante Aya menengadahkan kepala lalu menghela nafas dengan berat. Om Imam keluar dari kamar nenek dengan wajah yang masih mengantuk.

"Itu Zahra," tunjuk Om Imam singkat. Seolah membenarkan kepada Tante bahwa Zahra sedari tadi berkeliaran di tengah rumah.

Tante Aya menoleh pada suaminya dan menggeleng pelan dengan lesu. Zahra yang menyadari langsung bertanya, "Kenapa Tante?"

Tante memegang kepala Zahra, mencoba menenangkan dan berusaha menjelaskan sesuatu tanpa membuat Zahra semakin takut.

"Zahra, tadi kamu ngapain lari-lari pake mukena?" tanya Tante Aya.

Om Imam mendesis gemas, menyesali pertanyaan Tante Aya yang salah dalam pemilihan kata. Hal itu terbukti dari Zahra yang semakin terguncang.

"Eng-enggak, Tante. Ini Zahra baru mau nyari mukena. Tadi 'kan Uty yang pake mukena di sini..." Zahra mulai berkaca-kaca.

Tante Aya memeluk Zahra erat. "Udah, udah. Sstt.. Tenang, Zah.."

Zahra menggeleng dalam dekapan. Seringai sosok bermukena itu terus menghantui pikirannya. Zahra ingin sekali pergi dari rumah itu sekarang juga.

"Takut, Tante.. Takut..." bisik Zahra lirih. "Padahal Zahra cuman pengen shalat... Kenapa dia malah buat Zahra jadi takut buat ibadah?" tanyanya dengan batin begitu tertekan. Ia merasa sakit hati.

"Kita shalat bareng-bareng ya, Zah..." kata Tante Aya seraya mengelus kepala Zahra.

Zahra melepaskan pelukan dan mengusap air matanya. "Nanti kalau dia ikut shalat gimana?"




BELASUNGKAWA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang