Harrir

2.4K 266 5
                                    

Harrir memeluk tubuhnya. Ia kedinginan, padahal selimut sudah membalutinya sampai kepala.

"Cangkeul, haduhh..." Harrir sedikit mengerang, namun suaranya yang serak terdengar tidak jelas. Tak ada yang menyadari ia terus bergerak ke kanan dan ke kiri, tak nyaman dengan posisinya sekarang.

"Yasalam!" Ia membuka selimut dengan sekali hentakan, ditatapnya langit kamar tamu yang tinggi. Badannya pegal-pegal, udara terasa menusuk tulangnya.

Rumah Pak Aki begitu gelap, semua orang sudah tidur dengan nyenyak. Karena Harrir merasa sendiri, ia pun memilih untuk memejamkan matanya lagi. Tubuhnya miring menghadap tembok seperti sebelum ia tidur beberapa jam yang lalu.

Kepalanya sudah lebih enak karena lama istirahat. Hanya saja, panas di punggungnya tak juga hilang. Suara jangkrik dari kebun belakang terdengar sampai kamar. Lama kelamaan, matanya kembali berat dan perlahan Harrir mulai terpejam.

Lingkungan malam kembali membawanya menuju alam bawah sadar. Pelan-pelan kesadarannya menurun. Tiba-tiba...

Harrir terduduk sekaligus, jantungnya berpacu, ia menjadi was-was. Suara jendela yang berbunyi keras itu membuatnya terkejut. Matanya menatap tajam gorden kamar yang menutup rapih di sana.

Kayaknya bukan dari jendela kamar ini, deh... Batinnya sambil melirik sepupu-sepupunya yang nyenyak terlelap. Tak satupun dari mereka yang terbangun seperti dirinya. Karena sudah terlanjur duduk, ia pun memutuskan untuk berdiri dan pergi buang air kecil.

Harrir membuka pintu dan menuju lorong kamar mandi. Diliriknya ruang tengah yang gelap gulita. Tak terlihat ada siluet meja ataupun kursi. Semua tampak gelap dan tidak ada tanda-tanda kehidupan.

Harrir berjalan ke dalam ruang tengah, ia menempelkan tubuh ke dinding sambil menyipit mencoba mencari saklar. Lama ia meraba-raba tembok, sedikit tegang karena takut ada sesuatu yang menyeramkan saat lampu dinyalakan.

Dapat!

KLIK!

Ruang tengah yang terhubung dengan meja makan tampak luas dan sunyi. Jajaran kursi kayu membawa hawa yang berbeda saat Harrir berada sendiri di sana. Kepalanya bergerak ke jendela ruang tamu, teringat dengan suara yang baru mengejutkannya tadi. Matanya yang tak minus membuat Harrir bisa melihat ada sesuatu berwarna hitam di bawah kusen jendela.

"Apa itu?" Harrir sebenarnya enggan melihat, namun ia masih berpikir jauh takut-takut itu adalah ular atau binatang membahayakan lainnya.

Anak laki-laki berumur 16 tahun itu melupakan tujuannya ke kamar mandi dan berjalan ke arah ruang tamu yang masih terkena temaram cahaya lampu tengah.

Semakin dekat, semakin jelas ada tumpukan berwarna hitam di sana. Seperti tanah yang menggunung di jendela hingga berserakan di lantai. Harrir menghentikan langkah, gundukan itu terlihat menggelikan. Ia bergerak cepat ke saklar lampu ruang tamu.

KLIK!

Lampu menyala, memperlihatkan gundukan semut dan tanah yang bergerak-gerak tak waras. Bulu kuduk Harrir meremang, bukan karena takut, melainkan geli dengan apa yang dilihatnya. Semut-semut hitam saling bertumpuk, mengotori jendela ruang tamu.

Harrir buru-buru mencari semprotan pembasmi serangga dan langsung mendapatkannya di balik lemari tempat piring.

Harrir kembali ke ruang tamu, semut-semut itu mulai menyebar mendekati kursi. Dengan sekuat tenaga, jari Harrir menekan spray button dan menyemburkan partikel racun untuk serangga. Bunyi penyemprot begitu bising di tengah malam seperti ini. Harrir terus membunuh semut-semut dengan membabi-buta.

Setelah selesai, ia berhenti menyemprot dan memeriksa apakah semut-semut itu sudah mati. Namun, Harrir sangat bingung sekaligus panik semut-semut itu malah berjalan beramai-ramai ke arahnya.

"Astaghfirullah mamahhh!!!" Harrir menyemprot lagi, sampai-sampai tubuhnya agak membungkuk, kakinya sudah berposisi kuda-kuda. Kedua pipinya mengembung, agak menahan nafas karena bau semprotan yang mulai menyeruak. Namun, anehnya aroma yang tercium semakin menyengat dan berbau kembang.

Tapi Harrir tidak terlalu fokus kepada bau semprotan, karena kini semut itu terus bergerak, seolah menyerang dan anehnya tidak kunjung mati. Harrir tidak yakin dengan apa yang dilihatnya, namun ia tahu semut itu memang mendekatinya.

Harrir kian tak kuat dengan aroma semprotan. Ia pun memilih mundur menjauh dan kebingungan kenapa semut-semut itu masih bergerak mendekat. Ia melihat sekeliling, tak mau sampai serangga itu mengotori karpet ruang tengah.

Ia terus bergidik, begitu merinding melihat tanah yang menggunung beserta ribuan semut yang memenuhi jendela.

"Eh, Pak Aki!" seru Harrir pelan. Pak Aki baru saja terlihat melalui jendela, tengah berjalan di teras. Harrir melompat melewati semut dan membuka pintu rumah.

Pak Aki yang memakai peci hitam dan koko putih berjalan menuju masjid. Harrir yakin waktu saat ini sudah menunjukkan pukul empat subuh, pasti Pak Aki akan membangunkan warga seperti biasanya.

"Pak Aki!" Harrir memanggil ketika Pak Aki membuka gerbang masjid. Tapi Pak Aki tidak kunjung menoleh ke belakang. "Pak Aki ada semut di jendela! Banyak!" Harrir berusaha berkata sekeras mungkin namun tetap menjaga agar tidak terdengar ribut malam-malam.

Harrir mengernyit karena Pak Aki malah masuk ke dalam masjid tanpa menghiraukannya. Ia mencari sandal jepit di sekitar teras rumah, dan ia langsung mendapatkan sandal hitam khas yang biasa Pak Aki pakai ke masjid.

Ah, meren Pak Aki pake sendal lain.

Harrir pun setengah berlari ke masjid untuk memberi tahu Pak Aki tentang semut itu. Ia melepas sandal, naik ke teras dan memasukkan setengah badannya ke dalam.

"Pak Aki--" Tubuh Harrir menegang. Tak ada Pak Aki di dalam masjid. Melainkan seorang kakek-kakek berjenggot putih yang sedang duduk sila di depan mimbar. Ada sorban yang mengikat rapih di kepalanya.

Harrir bergerak hendak kabur, namun tubuhnya menabrak pintu dan mengeluarkan suara 'bruk' pelan. Mata lebar Harrir mengawasi kakek yang membelakangi itu. Suara pergerakan Harrir mengundang kakek itu untuk menoleh ke belakang. Kini mereka saling tatap.

Jantung Harrir seolah berhenti berdetak. Wajah kakek itu begitu mirip dengan seseorang yang berada di dalam lukisan di rumah Pak Aki.

Bibir Harrir bergerak walau rasanya sulit sekali.

"Uyut?" tanya Harrir setengah berbisik.

BELASUNGKAWA [COMPLETED]Where stories live. Discover now