Datang Gendong Pulang Bopong

2.6K 278 34
                                    

Ruangan begitu gelap. Pandangan mata hanya terbatas pantulan cahaya lilin. Api kecil itu bergerak mendayu-dayu. Boneka kelinci tergeletak lemas di sebelahnya. Baju si boneka yang warnanya sudah luntur dimakan waktu memperlihatkan kesan ditinggalkan dan dibuang.

Telinga kedelapan sepupu masih menangkap keramaian jangkrik yang bersahut-sahutan di luar sana. Ramai oleh binatang malam, menemani kegiatan beresiko yang akan mereka jalani detik ini.

Tak ada yang berkata apa-apa setelah Ali selesai membacakan sebuah blog mengenai tata cara bermain Jelangkung. Untuk melaksanakan ritual ternyata diperlukan tanah kuburan, kembang tujuh rupa, dan beberapa peraturan rumit lainnya. Jawad mengangkat tangan, sangat tidak menyetujui hal tersebut.

"Gak masuk akal malem-malem harus ambil tanah ke makam di belakang," katanya.

"Kita cuman punya mantra," sahut Harrir. Tangannya yang putih mengambil boneka di depannya, membalik-balikkan tubuhnya, memeriksa setiap detail boneka yang akan menjadi medium ritual. "Jelangkung Jelangkung datanglah ke pestaku. Datang tak dijemput, pulang tak di antar..." Ia bergumam.

"Sebenarnya bukan itu," kata Muthi. Semua menoleh ke arahnya. "Mantra aslinya dari bahasa Jawa."

Ali menggigit bibir bawahnya setelah mencari mantra Jelangkung yang asli di ponselnya. Di blog itu, hanya ada satu untaian mantra, namun sayangnya tak ada terjemahan ataupun penjelasannya.

"Tapi..." ucapan Ali terhenti. Tangannya memperlihatkan ponsel kepada semua sepupunya agar mereka membacanya sendiri. Mereka semua memicingkan mata menatap cahaya di ponsel Ali.

"Semoga artinya gak bawa petaka," ujar Mytha.

"Ayo," ajak Harrir singkat.

Tanpa pikir panjang, mereka semua saling mendekat. Tangan-tangan dingin itu menggenggam sisi boneka kelinci yang bisa digapai. Nafisa memeluk Mytha di sebelahnya, masih kurang mengerti dengan apa yang akan kakak sepupunya ini lakukan.

Semua sudah siap untuk memulai pemanggilan.

Ali melirik sekali lagi ponselnya, untuk mengingat mantra yang akan dibacakan. Beberapa di antara mereka memejamkan mata, melafalkan mantra sebisa mereka.

Tangan mereka mengangkat boneka bersamaan. Kelinci malang dengan telinga layu yang menyedihkan. Mereka membuka mulut, lalu mengucapkan mantra bersama-sama dengan lancar.

Hong hiyang ilaheng hen jagad alusan roh gentayangan ono'e Jelangkung Jaelengsat.

Siro wujud'e ning kene ono bolon'e siro wangsul angslupo yen siro teko gaib wenehono tondo ing golek bubrah.

Hayo enggalo teko pangundango hayo ndang angslupo ing rupo golek wujud.

Jelangkung...
Datang gendong...
Pulang bopong...
Jelangkung...
Datang gendong...
Pulang bopong....

"Sst..." Jawad mendesis pelan. Mata mereka melirik ke kanan dan ke kiri, menunggu tanda-tanda kemunculan Cahari.

Tak ada suara bising binatang malam yang masuk ke pendengaran. Kecuali deru nafas tegang dari masing-masing pernafasan. Di luar sana, suara jangkrik yang bersahutan tak lagi terdengar ramai. Sekitar mereka tiba-tiba sunyi senyap, seperti tak ada tanda-tanda kehidupan seperti sebelumnya.

"Kenapa sepi begini?" Bahkan bisikan Mytha seolah keras di suasana seperti ini.

Yang lainnya menggeleng, bingung apa yang harus dilakukan selanjutnya.

"Baca lagi?" tanya Jawad, suaranya yang hanya tersisa bisikan kecil.

Muthi mengerutkan dahi. Perasaannya begitu kuat mengatakan untuk tidak mengucapkan mantra bahasa Jawa itu lagi. Entah kenapa, rasanya setelah melontarkan mantra itu, hatinya jadi tidak enak. Begitupun dengan Ali, Harrir, Zahra, Mehri, Jawad dan Mytha. Mereka semua sama-sama tidak ingin membaca mantra itu lagi. Ada suasana aneh yang kini menghinggapi. Namun, tak ada yang berani mengatakan hal tersebut.

BELASUNGKAWA [COMPLETED]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن