"Sesepédahan"

3.1K 275 16
                                    

Cuaca amat cerah namun tak terlalu terik siang ini. Mehri, Harrir, Ali dan Muthi memutuskan untuk berjalan-jalan ke lapangan besar tak jauh dari belakang rumah nenek. Lapangan itu seperti lapangan di pedesaan pada umumnya, ada dua gawang dari bambu di kanan kirinya. Tanahnya pun kering karena tidak terguyur air hujan. Ada kebun bambu yang mengelilingi lapangan dan sering disebut sebagai hutan belantara oleh kedelapan sepupu. Lokasi itu masih sama seperti masa kecil mereka. Sejuk, besar, berangin, dan tak berujung.

Jauh bermeter-meter dari lapangan, ada bangunan dengan tiga gerbang yakni garasi milik Pak Aki. Keempat sepupu membuka gerbang paling kiri dan mulai mencari.

Mehri berhasil menemukan tiga sepeda milik Wa Heri, Om Imam dan Abang Jawad. Ketiga sepeda itu masih bagus, hanya saja berdebu dan bannya perlu diisi angin. Muthi mengambil pompa di pojok tembok dan mengangkutnya keluar. Harrir dan Ali mengambil sepeda masing-masing.

"Aa mau yang punya papah." Harrir menarik sepeda berwarna hitam milik Wa Heri.

"Ali yang Abang. Udah kebiasaan," ucap Ali ikut mengambil sepeda berwarna abu-abu.

"Aku yang Om Imam," sahut Muthi sambil menggenggam stang sepeda berwarna biru tua dengan stiker chelsea yang menempel di besinya.

Mehri celingukan. "Terus Teteh yang mana?"

Benar juga. Mehri yang menemukan sepeda tapi tidak kebagian miliknya. Muthi menoleh kembali ke dalam garasi yang lumayan besar dan dipenuhi perabotan otomotif.

"Itu!" Tunjuknya ke arah sepeda berwarna pink dengan keranjang di depannya. "Lumayan ada jok belakang buat Zahra kalau mau ikut."

Mehri berjalan dengan malas ke sepeda itu. Entah milik siapa, Mehri tak mau tahu. Mereka berempat pun mengelap sepeda dan mengisi angin. Setelah selesai, Harrir mengambil Walkie Talkie miliknya dari saku celananya, sebagai pengganti ponsel yang sinyalnya tidak bisa diharapkan.

"Rakhmat 4 lapor!" Harrir berkata di depan Walkie talkie, menyebutkan posisinya sebagai cucu keempat Pak Aki dan mengucapkan sandi panggilan.

"Rakhmat 1 di sini!" Suara Abang Jawad langsung muncul dari alat komunikasi dua arah itu.

Harrir menekan tombol lagi dan berkata, "Rakhmat 2,3,4 siap jalan-jalan. Lapor!"

Ali melotot. "SAYA RAKHMAT 5!"

"Oh iya Rakhmat 2,3,4,5 siap jalan-jalan!" Harrir menahan tawa. Ali bergumam tak jelas, kesal karena ia seperti tak dianggap. "Apakah Rakhmat 6 mau ikut?" lanjut Harrir.

Jawad agak lama menjawab, mungkin bertanya dulu kepada Zahra.

"Gak mau!" suara serak Zahra pun terdengar.

"Yaudah yuk!" Mehri mengenggam stang dengan erat.

"Tidak bisa! Laporan tidak diterima!" Harrir kembali berkata di depan walkie talkie. Mehri mengehela nafas tak sabar.

"Meni ribet²⁹!" gerutu Zahra. "RAKHMAT 6 GAK IKUT!"

Telepon terputus. Harrir menyimpan kembali ponsel itu dan menoleh dengan semangat. "Skuy gan!"

⚰️⚰️⚰️

Mereka berempat menggoes sepeda mengelilingi lapangan. Hanya keliling, tanpa mengobrol apa pun.

"Apaan, sih gak asik!" Muthi menekan rem dan berhenti. Mehri dan Ali ikut berhenti di belakangnya. Harrir masih menggoes menikmati udara yang sejuk dari pepohonan.

BELASUNGKAWA [COMPLETED]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora