Kampung Ini Masih Sepi

2.7K 287 6
                                    

Pagi menjelang terang benderang. Tadi malam adalah malam Jum'at, dan untungnya sesuatu yang tidak diharapkan tidak terjadi. Kedelapan sepupu akhirnya meyakini, bahwa sugestilah yang mampu mengundang apa yang disebut sebagai makhluk tak kasat mata. Muthi sempat berkata bahwa 'mereka' bisa mencium ketakutan manusia di sekitarnya.

"Jadinya mereka makin pengen nakutin," katanya. "Keputusan kita buat mengabaikan hal-hal yang kayak gitu emang tepat. Mereka bakalan kwalahan sendiri kalau gak ditanggepin. Dibacain ayat Al-Qur'an juga langsung kepanasan."

Jawad dan Zahra menggeleng-geleng takjub. "Keren... Perhantuannya udah jago banget!" tutur Jawad.

Muthi mendelik. "Makanya sering-sering nonton Jurnalrisa!"

"Gak mau--serem!" kata Zahra.

"Serem sih serem. Tapi lihat noh, banyak ilmunya! Kita jadi makin mawas diri dan sadar sama hal-hal yang kek begitu. Gak semua bisa dinilai langsung dari permukaan." Muthi berkata dengan semangat.

Zahra tampak berpikir. "Boleh juga. Mau coba nonton dong!"

"Abang gak ikut," sahut Jawad pergi meninggalkan kedua anak perempuan itu.

"Yaudah!" Zahra balas menyahut.

Rumah nenek sepertinya mulai berwarna. Orang sunda bilang, tak lagi keueung³² seperti kemarin. Jawad dan tujuh adik sepupunya sudah terbiasa dengan suasana rumah tanpa Pak Aki dan nenek yang masih di Indramayu. Mereka lebih sering mengaji untuk mengurangi rasa takut yang sesekali hinggap. Sinyal pun sepertinya membaik, bahkan kini beberapa film telah di download saat WiFi bisa dipasang tanpa kendala. Maka dari itu, Zahra dan Muthi menghabiskan waktu kosong mereka dengan menonton YouTube sepuasnya. Begitupun dengan Harrir yang melompat dari atas sofa dan mendapati Ali sedang termenung di depan ponselnya. Layar menunjukkan stiker pertanyaan di instastory Harrir. Sepertinya anak itu ingin mengisi stiker pertanyaan di akun saudaranya itu, namun bingung harus bertanya apa.

"Li mabar Li!" Harrir duduk di sebelah Ali yang langsung terlonjak dan keluar dari aplikasi Instagram, berharap Harrir tidak mengetahuinya.

"Yuk lah. Yang kalah bikinin indimi!" Ali menerima ajakan itu.

"Deal!"

Rumah di sebelah kamar tamu--tak lain merupakan tempat tinggal Pak Yanto, memang sering menjadi pusat perhatian siapa pun yang sedang sendirian di dalam kamar. Contohnya saja, Mehri yang lebih sering menyendiri untuk bermain laptop. Apalagi, sekarang internet sudah berjalan dengan normal.

Ketika memakai earphone untuk mendengarkan spotify, ia sering merasa lagu yang diputar seperti ada yang ikut bernyanyi. Ia langsung membuka earphone lalu mendengarkan dengan saksama. Ternyata, suara seperti orang yang bersenandung itu terdengar dari balik jendela yang berada di sisi kamar, dimana rumah Pak Yanto berada. Hal itu tidak terjadi sekali dua kali, namun setiap kali Mehri mendengarkan musik, seseorang selalu mengikuti alunannya.

Mehri jadi tak enak perasaan. Ia pun memilih untuk sering berdiam di kamar tengah sebelah kamar Pak Aki dan nenek. Walau tak ada kasur di ranjangnya, ia setidaknya bisa membentangkan karpet di sebelahnya. Tak ada masalah.

Begitu juga dengan lingkungan sekitar rumah nenek yang masih saja sepi. Sampai hari ini, cucu-cucu Pak Aki hanya melihat beberapa warga yang hanya mengambil jemuran lalu masuk lagi ke dalam rumah. Seolah-olah keluar lebih lama lagi akan mendapatkannya sesuatu yang tidak-tidak. Entahlah. Delapan orang ini tidak mau berprasangka buruk. Tetapi, keanehan tetaplah keanehan. Sejak kematian Pak Yanto, tidak dapat dipungkiri hal-hal janggal mulai terjadi. Masjid tak lagi ramai seperti biasanya, bahkan hanya beberapa orang seperti Ustadz Aceng, Aki Asep, dan beberapa bapak-bapak yang selalu terburu-buru menyelesaikan dzikir mereka.

Harusnya 'kan khusyuk, Ali sering mengkritik dalam hati.

Sesekali, Mytha dan Nafisa harus mencari warung yang masih buka untuk membeli tambahan camilan karena Teh Ena masih saja belum menampakkan tanda-tanda berjualan kembali. Alhasil, mereka pun harus melewati beberapa belokan gang untuk sampai ke warung di dekat jalan. Hanya itu satu-satunya warung yang buka. Warung Teh Siti.

Setelah berbasa-basi sedikit, Teh Siti bertanya kepada Mytha. "Neng, gimana di sana ada tahlil?"

Mytha menghentikan sejenak kegiatannya mencari cemilan. "Tahlilnya di rumah masing-masing, Teh."

Teh Siti manggut-manggut seraya terus mengolah bumbu lotek. "Ya atuh Neng. Bisi ada yang enggak-enggak ya," ucapnya dengan logat Sunda yang kental.

Mytha merasa terpancing. Ia pun mulai bertanya, "Memangnya ada apa, gitu Teh? Mytha lihat akhir-akhir ini kok rasanya sepi banget."

Teh Siti menghela nafas. "Pasti, Neng. Pantangannya kalau ada dukun yang meninggal di sini gak boleh keluar rumah selama tujuh hari kalau gak ada yang penting-penting amat mah."

Mytha mengernyit. Dukun? Benarkah? Apakah spritual di tempat tinggal kakeknya begitu sekental ini? Yang ia tahu, di kampung ini memang ada beberapa orang pintar. Tetapi mendengar kata dukun secara gamblang baru kali ini disebutkan. Sebelumnya tidak ada yang memberitahunya soal ini.

"Oh gitu ya..." gumam Mytha.

Tapi Mytha menangkap gelagat rasa bersalah dari mata Teh Siti. Sepertinya ia tidak sengaja mengatakan hal tersebut. Namun terlanjur. Teh Siti sudah masuk ke dalam percakapan. Mau tak mau, ia harus melanjutkan cerita agar tak salah paham.

"Pak Yanto itu dukun di sini. Mungkin Neng Mytha belum tahu," kata Teh Siti kemudian. Memang, Mytha baru sesekali datang ke kampung ini. Maklum, ia dan Jawad adalah pengantin baru. "Neng memangnya belum pernah lihat Pak Yanto?" Teh Siti menangkap sorot mata Mytha yang berpikir keras sosok Pak Yanto itu yang mana.

Mytha pun berpikir. "Kalau rumahnya sebelahan sama Pak Aki berarti setidaknya aku pernah lihat. Tapi gak tahu, Teh. Gak terlalu kenal."

Teh Siti mengangguk. "Sebenarnya dia bukan dukun yang baik. Tapi beruntungnya Pak Haji. Gak mempan sama yang seperti itu."

Mytha sedikit demi sedikit mulai menyusun maksud dari obrolan tersebut. Ia pun bertanya lagi setelah memastikan Nafisa masih memilih-milih makanan.

"Lalu, kenapa ada pantangannya Teh? Memangnya kalau keluar rumah apa yang akan terjadi?"

Teh Siti sempat ragu untuk mengatakannya. Tetapi, ia pun tidak mau terjadi sesuatu kepada Mytha dan sepupu-sepupunya yang lain. Teh Siti tahu mereka sedang menginap, karena melihat Mehri, Muthi, Harrir dan Ali yang naik sepeda kemarin sore.

Ia pun berkata, "Biar lelembut mereka tidak ikut ke rumah, Teh."

Mytha tak mengerti. "Maksudnya Teh?"

Teh Siti membuka mulut lalu urung ketika ibu-ibu yang membawa dagangan singkong di belakang Mytha menyuruhnya untuk diam. Ibu itu menaruh telunjuk di bibirnya, Teh Siti meneguk ludah. Mytha mengernyit, lalu menoleh ke belakang. Tak ada siapa-siapa.

"Nah, ini loteknya sudah selesai," kata Teh Siti sembari memasukkan tiga bungkus lotek ke dalam keresek secara terburu-buru.

"Nafisa udah, sayang?" tanya Mytha kepada Nafisa.

"Udah!" seru Nafisa mengangkat empat lolipop dan beberapa kue ringan.

"Jadi berapa Teh?" tanya Mytha merogoh dompetnya.

"Jadi...." Teh Siti menghitung jajanan, Nafisa mengangkat makanannya. "Tiga puluh dua ribu."

Mytha langsung mengeluarkan uang lima puluh ribu. Mytha melihat Teh Siti tampak ketakutan menatap sesuatu di belakangnya. Mytha jadi ingin cepat-cepat pulang.

"Ini Teh," ujar Mytha menyerahkan uang tersebut. Teh Siti mengambilnya dan mencari kembalian di laci. Tampak kesusahan.

Mytha yang menyadari hal itu pun berkata, "Yaudah Teh nanti aja diambil kembaliannya. Duluan Teh, makasih..."

"Iya Neng hati-hati." Teh Siti langsung setuju.

Mytha berjalan menjauh bersama Nafisa di sebelahnya. Digenggamnya tangan anak itu dengan erat. Tak lama, kepala Mytha kembali menoleh ke arah warung. Teh Siti tampak membereskan dagangannya, hendak tutup. Aneh sekali.

Mytha terus melangkah, tak berani menatap sekitar kecuali sesekali menoleh ke arah Nafisa yang bersenandung riang.

Astaghfirullah... batinnya khawatir.

BELASUNGKAWA [COMPLETED]Where stories live. Discover now