Yanto Hartono (Alm)

2.4K 250 20
                                    

"Ada apa lagi ini Ya Allah..." Ali menutup wajah dengan kedua tangannya. Ia menunduk begitu rendah, badannya membungkuk dan dahinya  menyentuh karpet.

Mytha langsung memborbardir Nafisa dengan pertanyaan—apakah itu hanya khayalan semata atau anak kecil itu benar-benar melihat sosok pocong Yanto di kamar nenek. Nafisa hanya terus menggeleng seolah kekeh dengan pendiriannya. Tangannya terus menunjuk pintu dan sesekali berkata, "Beneran." Tapi ada nada ketakutan dalam suaranya.

Sementara Tante Aya, Om Imam dan Abang Jawad terdiam kaku dan mematung menatap ke arah kamar nenek. Tenggorokan Jawad seperti tercekik. Dia hanya bisa menggumamkan Ayat Kursi dengan keberanian yang tipis. Sehingga bacaannya seringkali salah dan ia harus mengulangnya lagi dari awal. Om Imam, meskipun dengan tangan gemetar, ia mencoba mencari kontak Pak Aki di ponselnya. Namun, selama mengetik nama "Pak Aki", nomornya hilang. Om Imam mengernyit kecil, mencari lagi nomornya, dan meminta Tante Aya mencari juga.

"Gak ada, Yang." Tante Aya mendongak dengan mata melotot. Pasangan suami-istri itu perlahan melirik Zahra yang nafasnya sudah pendek-pendek akibat suasana menegangkan ini. Sedari tadi Zahra memerhatikan Om dan Tantenya. Dan tanpa disampaikan pun, Zahra sudah tahu ada masalah lain yang terjadi.

Muthi, Harrir, dan Mehrilah yang paling parah keadaannya. Bagaimana tidak? Selain terkejut dengan Nafisa yang mengaku merasakan kehadiran Pak Yanto, mereka juga bisa melihat sosoknya.

"Kenapa Aa jadi bisa ngeliat?" Ekspresi Harrir langsung kusut. Ia sampai tidak bisa berkata apa-apa lagi ketika untuk pertama kalinya—setelah bertahun-tahun tertutup—mata batinnya terbuka lagi.

Mehri langsung menangis setelah menyaksikan pemandangan mengerikan di kamar nenek. Mytha dan Tante Aya panik dan mendekat kepadanya, takut terjadi apa-apa.

Dan Muthi...

Dia hanya menunjukkan wajah datar dengan pandangan yang tidak lepas dari sosok pocong yang ada di dekat pintu kamar. Kain kafannya memang nampak tak terlalu kotor, tapi wajahnya hancur sehancur-hancurnya. Kulitnya hitam dan banyak luka borok. Darah merah tua pekat yang sudah mengering terus menempel di wajahnya. Kulit kelopaknya tidak ada, membuat bola matanya begitu merah dan uratnya terlihat berakar.

Tubuhnya sekarang terduduk, posisinya seperti Ali. Terdengar suara rintihan seperti tangis lirih dari tenggorokannya yang berlubang. 

Yanto Hartono, dukun ilmu hitam yang semasa hidupnya sudah menumbalkan banyak orang, kini tidak bisa menghindari hari kematiannya. Naas, sebelum wafat, ia belum sempat melepas pegangannya, yakni sosok jin pocong kafan hitam yang saat ini menjadi majikannya. Yanto tampak putus asa akan kehidupan kelam yang akan ia hadapi detik ini.

"Nafis.." Muthi memanggil Nafisa namun tidak berpaling dari pocong Yanto. "Wajahnya kayak gimana?"

Nafisa menoleh pada kakak sepupunya. "Kayak bapak-bapak biasa."

Muthi melirik Harrir. "Iya A. Kita lihat wujud yang aslinya."

Harrir menggerakkan bibirnya seolah mengatakan kata sarkas binatang.  Ia lalu menarik nafas dan mengepalkan tangannya.

Tiba-tiba...

"WOY SETAN!" Harrir berdiri. Ada tenaga tak terlihat yang tahu-tahu merasuki jiwanya. Wajahnya merah penuh amarah. Harrir menunjuk pocong Yanto Hartono, yang dalam penglihatannya, sosok itu jelas sejelas-jelasnya. Seperti melihat jenazah manusia yang duduk dengan wajah hancur, dengan ikatan kain di kepalanya.

"A Harrir?" Jawad terperangah.

"BERHENTI GANGGUIN HIDUP KITA, TOLOL!" Harrir berseru lebih keras. Mytha langsung menutup telinga Nafisa.

BELASUNGKAWA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang