Kesepakatan Sebelum Tragedi

2.7K 255 8
                                    

"Gak! Gak mau! Enak aja manggil hantu!" Zahra melambai-lambai, ia menjauhkan posisi duduknya dari Harrir.

Harrir menyanggah, "Bukan maksud sompral. Aa cuman pengen ngebuktiin permainan Ouija itu beneran punya kekuatan magis apa enggak. Anggap aja cerita Abang Jawad soal Cahari itu jadi pembuka. Bukannya kita udah ada jadwal main Ouija? Ngapain atuh mahal-mahal beli kalau gak dimainin?"

Semua kembali diam. Permainan papan Ouija yang tidak murah itu akan mubazir dan ujung-ujungnya akan menjadi sampah bila tidak dimainkan. Jawad menelan salivanya dengan pahit. Duh nih anak bisa aja ngelesnya, batinnya bimbang. Ia melirik Harrir yang nyengir lebar, menunggu jawaban dari yang lainnya.

Ali menaruh dagu di atas kepalan tangannya. Cerita tentang Cahari yang menjelma sebagai pocong keliling membuatnya kembali dihantui rasa trauma. Tapi, ia suka tangangan! Toh pengalaman itu udah lalu, ucap hatinya mantap, sedikit banyak mengingat pengalamannya melihat pocong gelinding.

"Hayu!" Ali pun berseru. Harrir mengangkat tangan, mereka berdua ber-high five.

Muthi menatap karpet kosong. Seandainya ia tidak memiliki kepekaan setajam ini terhadap dunia 'mereka', pasti ia sudah langsung setuju dengan usulan Harrir. Ia paling benci hantu legendaris bernama pocong. Dan sekarang? Mereka mau memanggil sosok Cahari yang waktu itu meneror sebagai makhluk yang sama.

"Gimana Mut? Mau ikutan?" tanya Jawad.

"Abang setuju?" tanya Muthi balik.

Jawad mengangkat bahu. "Terserah yang lain."

Mytha melotot ke arah Jawad, tak menyangka suaminya akan mengizinkan mereka bermain Ouija malam-malam begini.

"Terlalu banyak resiko," kata Mytha mencoba menggagalkan rencana. Diliriknya Nafisa yang sibuk menata blok uno stacko.

"Apa aja coba resiko téh?" tanya Harrir agak menengadah, menguji.

"Yang dipanggil bakalan dateng. Terus neror. Terus kalian minta pulang. Nanti kalau pada takut Teteh gak mau tanggung jawab," kata Mytha tegas. Dari lubuk hati paling dalam, ia ketakutan.

"Hadeuh bilang aja takut!" ledek Harrir.

Mytha yang terlanjur tidak mau gengsi melotot sebal. "Dih enggak!" sanggahnya. "Yaudah ayo! Ngikut! Siapa takut!"

Harrir tertawa puas.

"Zahra ikut," kata Zahra datar.

"Nah bagus!" kata Harrir mengusap-usap kepala Zahra keras-keras.

"Breteh?" tanya Ali. Mehri yang sedari tadi bungkam pun menjawab dengan mengangkat alis dan bahunya bersamaan.

"Kalau diem berarti iya!" Harrir menganggukkan kepalanya, senang karena permintaannya terpenuhi.

Muthi menghela nafas pelan, menyembunyikan kegugupannya. Jujur saja, Ouija adalah permainan yang sangat ia ingin mainkan sejak dulu.

"Ayolah Mut. Kalau ada apa-apa 'kan tinggal bilang," ucap Harrir.

"Mumpung loh kita di tengah kampung gini. Damagenya kalau main di Bandung gak bakalan dapet," sambung Ali.

"Udah santai aja. Ada kita ini kok," kata Mytha mengusap-usap punggung Muthi. Mytha sangat mengerti Muthi pasti takut matanya akan menangkap hal-hal yang menyeramkan, dan tidak bisa dilihat oleh yang lainnya. Muthi merasa 'menghadapi' semuanya sendirian, walaupun mereka duduk bersama-sama.

"Seandainya udah gak kondusif, bilang aja stop. Kita gak akan keberatan," timpal Zahra.

Muthi tersenyum simpul, "Yaudah."

BELASUNGKAWA [COMPLETED]Where stories live. Discover now