Muthi

2.4K 258 9
                                    

"Biar aku aja, Teh." Muthi sudah datang untuk menggantikan Mytha membuat teh.

"Okey," ujar Mytha dan ia pergi meninggalkan Muthi sendiri di dapur.

Muthi pun berdiri di depan meja dan menuangkan beberapa sendok gula ke dalam cangkir. Selama menyelupkan kantong teh, suara telepon yang berdering itu bergema ke seluruh penjuru rumah. Suaranya begitu keras. Beberapa kali Muthi menoleh ke belakang dengan tak sabar, menunggu Mytha yang tak kunjung mengangkat telepon.

Lalu, suara dering itu terhenti. Muthi memasang pendengarannya, sedikit penasaran siapa gerangan yang menelopon malam-malam begini.

Matanya tiba-tiba melebar, menyadari sesuatu. Bukannya telepon itu gak nyambung?

Kepalanya sontak bergerak ke arah pintu menuju ruang tengah, keningnya perlahan berkerut. Ia memasang pendengarannya dengan tajam, namun tak ada suara obrolan Mytha dengan seseorang di telepon. Hanya ada sendok yang beradu dengan cangkir di tangannya. Bahkan, suasana rumah perlahan hening. Sangat hening seperti tidak ada aktivitas apa-apa.

Muthi mengangkat alisnya dan fokus membuat teh lagi. Syukurlah kalau teleponnya berhenti, batinnya agak tenang.

Muthi dapat menghirup aroma melati dari tiga cangkir teh yang dibuatnya. Begitu wangi dan sangat menenangkan. Aromanya menghipnotis, kepalanya jadi sangat rileks. Sampai-sampai ia ingin membuat teh lebih banyak lagi untuk dirinya dan Tante Aya. Tangannya pun bergerak untuk mengambil dua cangkir lagi, lalu mulai membuat teh melati yang wanginya sangat menyeruak itu.

"Hai, Uty!" seru Zahra berlari ke dapur. Muthi menoleh sebentar ke gadis berusia tiga belas tahun itu.

"Hai," balas Muthi. Walau Zahra lebih belia tiga tahun darinya, namun ia sering memanggil Muthi dengan panggilan khasnya. Muthi merasa senang karena ada orang lain selain dirinya di dapur yang sepi itu.

"Lagi bikin apa?" tanya Zahra.

"Teh melati, teh hijau," jawab Muthi tanpa mengalihkan wajahnya dari cangkir.

"Melati? Wiih!"" sahut Zahra ceria. Muthi bisa merasakan anak itu berkata sambil berkeliling-keliling dapur, menatap beberapa perabotan antik milik nenek.

"Mau dibikinin gak? Biar sekalian, nih." Muthi menawarkan sambil bersiap membawa cangkir lainnya bila Zahra menerima tawaran itu.

"Boleh, deh. Kabita, ih! Wangi banget!" serunya riang.

Muthi merasakan Zahra mendekat dan ikut menonton kakak sepupunya yang sedang membuat Teh.

Zahra berdecak. "Yakin tehnya gak basi? Emang Pak Aki suka minum teh melati?" katanya dengan tangan menunjuk dus berisi teh melati.

"Pak Aki emang sukanya teh asli." Muthi meraih dus kecil teh melati dan melihat expire datenya. "Emang basi apaan? Masih lama juga. Expirenya Maret 2022."

"Hehehehe, iya bercanda!" seru Zahra lagi. Ia berbalik dan berjalan-jalan mengelilingi dapur.

"Paan, si. Gak jelas," gumam Muthi lalu mengatupkan bibirnya. Tak lama ia menoleh ke belakang, melihat Zahra yang kini tengah berdiri di atas lengan kursi rotan.

"Heh, Malih! Turun!" seru Muthi memperingati.

Zahra malah melompat-lompat, dengan kaki yang terus mendarat di atas lengan kursi. "Gak bakal rusak ini!"

"Bukan masalah itunya. Ntar kalau jatuh gimana?" Muthi mencoba untuk bersabar, kepalanya agak pusing memikirkan tingkah Zahra yang tiba-tiba seperti itu.

"Gak bakalan kok, tenang aja! Lagi seneng, nih! Bentar lagi 'kan kita pesta!" Zahra terus melompat, wajahnya begitu menyeringai lebar.

"Pesta apa, coba?"

BELASUNGKAWA [COMPLETED]Onde histórias criam vida. Descubra agora