Kuntilanak Berkepala Terbalik

2.4K 250 6
                                    

"Katakan aja, jin milik almarhum Pak Yanto lagi berkeliaran mencari tuan. Secara yang kita tahu kalau Pak Yanto adalah seorang dukun dan sekarang udah meninggal. Dan makhluk-makhluk peliharaannya nyari pemilik baru. Mereka bisa aja nempel ke siapapun yang sekarang nekat pergi ke luar rumah. Itulah kenapa di sini ada pantangan gak boleh keluar rumah selama 7 hari setelah ada dukun yang meninggal dunia....."

Ucapan Muthi terus terngiang-ngiang. Mehri tidak bisa menutup matanya, padahal fisiknya sudah sangat lelah mengerjakan tugas kampus seharian. Mehri memiringkan tubuh ke kanan dan ke kiri. Berat di punggung belum juga reda. Bahkan, perutnya pun terasa nyeri berkali-kali lipat. Ia belum pernah merasakan nyeri menstruasi sesakit ini. Perasannya sangat tidak karuan. Ada sesuatu yang mengganjal di dalam dirinya.

"Tapi apa, ya?" gumamnya sendiri.

Ia pun duduk, mengitari kamar tamu yang kosong dengan pandangannya. Semua orang berada di ruang tengah, berkumpul untuk mendengarkan Tante Aya bercerita. Sayup-sayup Mehri mendengarkan percakapan mereka.

"Beneran sepiiii! Aneh banget!" Suara Tante Aya terdengar penuh gairah.

"Tante gak bercanda, 'kan?" tanya Teh Mytha.

"Enggak. Tanya aja Om Imam!" seru Tante Aya.

"Om!" Harrir memanggil. Tak lama, ia langsung berdecak. "Ih, si Om, mah!"

Mehri tersenyum kecil. Pasti Om Imam hanya menjawab dengan menaikkan alis, seperti biasanya. Sebenarnya, ia sedikit penasaran dengan obrolan mereka. Sepertinya seru, batinnya. Namun, kondisi tubuh yang sedang ingin beristirahat mengurungkan niat Mehri untuk bergabung.

"Tadi Om sempet Tante suruh buat ngetuk rumah Ustadz Aceng. Sempet tuh ada yang ngintip di balik gorden jendela. Tapi langsung ditutup lagi. Seolah gak mau kita jadi tamu. Sopan gak sih kayak gitu?" Bisa ditebak, Tante Aya merasa tersinggung. "Yaudah weh ai gak mau disamper mah. Minimal buka pintu. Atau suruh kita neduh bentar, kek!"

"Sabaar..." Jawad, Muthi dan Zahra berkata bersamaan.

"Sabar matamu." Tante Aya semakin sebal, tetapi direspon tawa mereka.

Kalau udah ketawa, berarti situasi udah mulai membaik, Mehri berasumsi.

Obrolan terus berlanjut, Mehri memilih untuk berdiri sejenak. Ia melangkah ke cermin kayu besar berukir kuno di tembok kamar. Ia tatap dirinya yang—ia akui—wajahnya agak lonjong dan sedikit pucat. Mehri menyentuh pipinya, memeriksa setiap detail bentuk wajah. Matanya sedikit sayu, alisnya terlihat lebih tebal dari biasanya. Bibirnya tipis sekali, dan ia baru menyadari bahwa rambutnya panjang sampai ke bawah lutut.

INI BUKAN AKU!

Wanita di depannya menyeringai. Mehri tercekat, kakinya terasa kaku dan tidak bisa digerakkan. Mehri ingin berteriak, tetapi kerongkongannya tertahan.

"Neng, geulis.... Seungit, neng..." Bayangan di dalam cermin masih menyeringai, mulutnya tidak bergerak tapi suara lirih dan menyeramkan itu menggema di dalam kamar.

Sulit bagi Mehri memanggil saudara-saudaranya. Ia berusaha untuk bergerak dan berlari menghampiri saudara-saudaranya. Rambut panjang yang terurai sampai ke kaki terasa sangat berat dan tebal. Badan Mehri terasa berputar seratus delapan puluh derajat ke belakang, sementara kepalanya tetap diam menatap cermin. Mehri sadar, bahwa bukan tubuhnya yang bergerak. Melainkan, sesosok kuntilanak di dalam cermin yang sedang menampakkan wujud aslinya.

"Hayu ka makam deui, geulis...." Kuntilanak itu berkata lirih.

Adegan menaiki sepeda bersama Ali, Harrir dan Muthi beberapa hari yang lalu terbayang jelas di matanya. Mereka baru saja melewati makam keramat dan berhenti untuk menunggu Harrir memperbaiki rantai sepeda yang terlepas. Mereka semua tidak sadar, bahwa ada sesosok wanita berbaju putih lusuh duduk di atas pohon nangka di samping makam. Tubuhnya membelakangi, hanya saja kepalanya terus memandang mereka berempat secara terbalik. Kuntilanak itu pun tertawa melengking, membuat Mehri, Ali, Muthi dan Harrir menggoes cepat kabur dari areal makam.

BELASUNGKAWA [COMPLETED]Onde histórias criam vida. Descubra agora