Jangan Keluar Rumah!

2.6K 267 2
                                    

Hari ini, Ali yang pendiam terlihat jauh lebih pendiam. Sedari tadi, ia hanya duduk memeluk lutut di atas karpet. Menonton televisi dengan tatapan kosong di balik kacamata tebalnya.

Jawad sudah tiga kali menawari adik bungsunya itu makan, tapi Ali tetap menolak. Ia terus memberikan jawaban dengan gelengan.

Begitupun dengan Harrir yang menepuk pundak Ali dari atas sofa, mengajaknya bermain game atau menonton film Marvel. Namun, ia kekeh tak mau. Harrir akhirnya berdiri dan meninggalkan Ali sendirian di ruang tengah.

Di meja makan, Muthi dan Zahra sedang memakan sop buah buatan Mytha. Mereka menoleh saat Harrir datang dengan dahi yang terlipat-terlipat.

"Kenapa A?" tanya Zahra.

Harrir duduk di kursi seberang Muthi dan Zahra. "Aneh banget si Ali," bisiknya. "Diem terus dari pagi."

Muthi menaruh sendoknya. "Tadi malem dia kenapa, sih?"

Harrir mengangkat bahunya. "Gak tahu. Tiba-tiba pengen tidur di sofa. Padahal suasana lagi mencekam banget. Mana tatapannya kosong. Ditanya apapun gak jawab."

Zahra menelan strawberry di mulutnya dan mengangkat telunjuk. "Oh heeh bener! Zahra inget sesuatu. Tadi malem pas mau ke WC dianter Teh Mehri, Zahra denger Bang Ali ngigau gitu. Ngomong..." Zahra menjentikkan jarinya, berpikir keras. Kemudian ia menoleh pada Muthi. "Mirip yang Nafisa omongin."

"Hah? Yang mana?" Harrir belum mengerti.

"Itu, loh.. yang ngomong sesuatu pas sebelum sadar!" Zahra tampak gemas. "Aduh, apa ya..."

Muthi menatap meja makan. Pikirannya bekerja keras untuk mengingat apa yang dikatakan Nafisa pada tadi malam, sesaat sebelum makhluk yang ada di tubuh gadis kecil itu dikeluarkan olehnya.

Pakheh kasying lokha akhning...

"Pakheh kasying lokha akhning?" Muthi berkata lirih.

"NAH!" teriak Zahra. Harrir yang baru akan menyuapi melon sesendok penuh terperanjat. "Itu! Bener, kata-kata Nafis persis yang itu. Kok, inget, sih?"

"Woi!" Harrir berseru jengkel. "Biasa aja kalau ngomong."

"Sorry, brother," jawab Zahra. "Eh tapi bener ngigaunya Bang Ali juga kek gitu." Zahra begitu bersemangat, matanya sampai berbinar-binar.

"Aku yakin itu kalimat yang ada artinya," ujar Muthi. "Tadi malem Nafisa emang gak jelas ngomongnya. Karena... ya... sosoknya emang lagi bukan dia. Kalau Ali, dia ngigau. Dimana-mana ngigau gak pernah ada yang jelas."

"Mohon maaf saudari Muthi. Pertanyaannya... Itu kalimat apa? Karena kita tidak bisa menyimpulkan isi dan arti dari kalimat tersebut sebelum kita mengetahui apakah ia berbahasa sunda, indonesia, atau mungkin jawa?" Harrir berubah sok serius. Seperti biasa.

"Itu yang saya juga tidak tahu, Pak Lurah." jawab Muthi.

"Bahasa?" Zahra memicingkan mata. "Pakhekh yiying itu kira-kira bahasa apa?"

"Pakheh kasying lokha akhning," koreksi Muthi.

"Ya itu," jawab Zahra. "Uhmm.. kenapa kita gak tanya langsung sama Abang Ali aja?" Zahra baru saja berdiri tapi Harrir dan Muthi langsung mencegahnya.

"Eh jangan dulu," kata Muthi. Zahra menaikkan alis, mengisyaratkan pertanyaan kenapa. "Pokoknya jangan." ucap Muthi penuh penekanan.

"Iya, mending gak usah. Belum tentu mau jawab," sambung Harrir. Akhirnya, Zahra pun duduk kembali. Padahal, ia ingin jawaban atas kalimat itu didapatkan dengan cara yang lebih simple. Namun, ia mampu berpikir lebih jauh—jika seandainya bertanya langsung pada Ali akan membuat hal ini malah menjadi lebih rumit.

BELASUNGKAWA [COMPLETED]Where stories live. Discover now