Kutukan Menginap

2.4K 262 15
                                    

Lantai dapur yang dingin menusuk telapak kaki, menembus tulang dan menegangkan otot dan sendi. Udara meniup kasar kulit-kulit halus nan rapuh—macam ditusuk jarum-jarum teror yang tak henti berdatangan.

Terpaksa, malam ini para sepupu keluar dari kenyamanan tidur mereka. Mengorbankan mimpi indah untuk memeriksa dapur yang mencekam. Tak ada lagi selimut untuk membaluti jiwa-jiwa malang yang ketakutan. Mereka berdiri seolah-olah bingung setengah mati, apakah harus melanjutkan mencari asal muasal sajen yang masih berasap di atas gentong air ini, atau berhenti menghadapi itu semua—langsung berkemas dan bertindak seolah-olah tak pernah terjadi.

Tetapi sepupu tertua dan seorang wanita dewasa yang paling dijadikan tempat bergantung untuk saat ini—Jawad dan Tante Aya— terbirit-birit menghampiri dengan wajah masih setengah mengantuk. Harrir mengintip dari pintu ruang makan, melirik dengan enggan ke seisi dapur yang memiliki aura tak enak.

"Mana Om?" tanya Muthi.

"Om kecapean," jawab Harrir. "Teh Mytha jagain Nafisa—um.. Zahra takut."

"Ya Allah..." lirih Tante Aya. Ia dan Jawad sudah melihat sesuatu yang menggelikan bergerak-gerak di dinding dekat kompor—ribuan semut berkumpul di tembok, membentuk satu siluet bayangan hitam yang panjang dan lebar, hampir menyentuh atap dapur. Ada serangga-serangga hitam yang ikut bergerombol di tengah-tengahnya, seperti tengah melakukan demonstrasi yang kacau balau.

Titik-titik hitam yang bergerak-gerak itu membuat Tante Aya mual. Abang Jawad menyentuh tengkuknya yang merinding. Mereka tidak bisa berkomentar apa-apa.  Tidak mungkin sepotong makanan manis yang tersisa di dapur, atau mungkin bangkai cicak yang menjadi santapan para semut mampu mengundang serangga sebanyak itu. Ditambah lagi, pergerakan mereka membentuk satu formasi berantakan yang teratur.

"Sajen?" tanya Jawad sambil mendekat ke gentong air. Baru kali ini Jawad memperlihatkan tanda tanya besar di wajahnya.

Sajen tersebut nampak masih baru disajikan. Itu bisa terlihat dari dupa yang masih berasap, sebuah kelapa segar, beberapa kembang, kopi hitam hangat di tengah anyaman nampan, telur, dan tiga batang rokok yang terpotong.

Tante Aya menatap semua keponakannya yang ada di dapur. "Siapa yang naro—"

"Makanya itu, Tan. Kita denger suara panci jatuh. Tapi ternyata semua peralatan dapur masih utuh," jawab Mehri mewakilkan. "Malah ada yang gini di tembok. Sama sajen yang gak tahu sejak kapan ada di sini."

"Mana baygon?" tanya Jawad mencari sekeliling. Ali berjalan ke arah lemari kebutuhan di dekat ruang sembako. Ia langsung menyambar pembasmi serangga yang dibutuhkan. Ia kembali dengan kesal ke arah tembok. Ali sudah lelah menghadapi semua ini.

"Hati-hati Li," kata Mehri. Semua orang mengambil langkah mundur.

Tanpa berkata apa-apa, Ali menyemprotkan pembasmi serangga dengan brutal. Ia menutup hidung sembari berjinjit untuk menyingkirkan semut di bagian atas.

Muthi dan Mehri buru-buru mencari sapu untuk membersihkan semut-semut sekarat yang kini tergeletak di atas lantai. Binatang itu berjatuhan seperti hujan. Ali masih terus menyemprot mereka semua tanpa henti.

Abang Jawad membuka ponsel dan memotret sajen yang ada atas gentong. Sebagai bukti bilamana cerita ini sampai kepada keluarga besar dan apabila ada pihak yang tidak percaya. Aroma kembang sajen yang Jawad tidak ketahui jenisnya masuk ke dalam penciuman. Wangi, tapi membuatnya bergidik ngeri.

Ali menurunkan tangannya sejenak karena pegal. Muthi dan Mehri sudah siap membersihkan saat Tante Aya menunjuk tembok dengan gemetar.

"Guys... Itu..." bicaranya terbata-bata.

BELASUNGKAWA [COMPLETED]Where stories live. Discover now