Bunga di Atas Keranda

4K 311 36
                                    

Hari Selasa pagi yang menyeramkan  membuat Muthi buru-buru mencari film yang ada di laptopnya. Koneksi WiFi yang terlalu lemah membuatnya terpaksa untuk menonton ulang film yang sudah pernah ditonton sebelumnya. Muthi pun mengotak-atik folder film kartun.

Muthi dan Zahra duduk berdempetan dengan selimut membaluti tubuh mereka. Mata mereka terfokus pada film Disney Mulan yang sedang mereka tonton.

Suara orang-orang yang sibuk mengurusi jenazah di rumah Pak Yanto membuat Zahra dan Muthi saling berbagi earphone agar bisa sepenuhnya memfokuskan diri ke film. Namun tak berangsur lama, mereka melepas kembali earphone  ketika Mytha menghampiri dan ikut menonton karena ia pun tak tahan mendengar suara di rumah sebelah.

Harrir sedang berputar di depan cermin untuk melihat penampilannya sendiri. Di tubuhnya yang tinggi, ia sudah memakai koko putih, peci hitam dan sarung berwarna senada. Ali pun baru saja selesai mengancingkan kerahnya dan mereka berdua sudah siap untuk ikut shalat jenazah.

Jawad masuk ke dalam kamar tamu dan memanggil mereka berdua.

"Hayu atuh¹¹," ajak Jawad.

"Iya hayu," sahut Ali. Anak-anak lelaki pun pergi keluar.

"Beranian ih nyalatin jenazah." Zahra bergumam sendiri.

"Untung Pak Aki ngerti kita mah penakut ya." Mytha menanggapi. Benar. Untung sekali.

~~~

Ali mengerjap-ngerjap pelan melihat pemandangan di depannya. Sekelompok bapak-bapak tampak kesusahan membawa keranda dari rumah Pak Yanto. Padahal, orang yang mengangkut terdiri dari enam lelaki dewasa yang bertenaga besar.

"Pak Yanto gendut gak sih?" Harrir berbisik kepada Ali yang sama-sama menyaksikan hal tersebut.

Ali tertawa kecil. "Enggak, tahu A. Ali pernah lihat soalnya. Tapi dulu. Kurus orangnya!"

"Ohhh, berat karena dosa meren ya?" canda Harrir. Mereka berdua tertawa bersama tanpa mengeraskan suara.

"Eh! Ssst! Diem ih!" Jawad memprotes di depannya.

Beberapa bapak-bapak melirik Harrir dan Ali, mereka pun tampak terhibur dengan lelucon yang Harrir lontarkan. Namun, fakta yang ada membuat mereka kaku, barang tersenyum kecil sekalipun. Sorot mata mereka hanya menunjukkan kekhawatiran dan ketakutan.

Pak Aki mengomando warga untuk membantu mengangkat keranda yang nampak berat sekali. Hingga akhirnya, mereka sama-sama mengucap basmalah dan keranda bisa diangkat ke dalam masjid.

Ali menyenggol Harrir. "Asa¹² pernah lihat yang kayak gini. Tapi dimana, ya?"

"Film azab Indosiar, kali!" Harrir menjawab.

"Filim izib Indisiyir?" ulang Ali.

"Iyi ying jinizihnyi birit bingit!" Harrir sedikit mengangkat bahunya dan wajahnya mengernyit sedemikian rupa.

"Éta budak hayu¹³ shalat!" Pak Aki berteriak memanggil Harrir dan Ali yang terlonjak kaget. Mereka berdua menyadari ternyata orang-orang sudah masuk ke dalam masjid. Mereka pun mengikuti dan merapikan barisan.

Harrir dan Ali berada tepat di belakang Ustadz Cecep sebagai imam. Mereka bisa melihat dengan jelas keranda yang ditutupi kain hijau bertuliskan lafadz Allah dengan bunga-bunga yang ditaruh di atasnya.

"Allahu Akbar," ucap Ustadz Aceng. Makmum mengikuti, termasuk beberapa ibu-ibu yang ikut shalat jenazah di tempat akhwat.

Ali tidak bisa sepenuhnya konsentrasi untuk membaca bacaan shalat. Ia berulang kali melirik ke depan untuk melihat keranda itu. Batinnya terus berkata, lihat itu! Lihat itu! Lihat bunganya!

BELASUNGKAWA [COMPLETED]Where stories live. Discover now