Suara Lelaki yang Meminta Tolong

2.4K 247 23
                                    

Waktu menunjukkan pukul empat subuh. Ruang tengah rumah Pak Aki dipenuhi oleh jajaran sajadah. Di atas sofa, bertumpuk Al-Qur'an yang akan mereka baca selepas shalat. Tidak ada yang berani beribadah di dalam kamar-seolah-olah ruang tengah adalah ruangan teraman untuk saat ini.

Para sepupu melaksanakan shalat qiyamullail, kecuali Mehri yang belum juga bersuci. Dia menggerutu saat menatap ketegangan saudara-saudaranya memudar seiring bacaan shalat dilantunkan secara pelan. Sedangkan kedua ujung jari kakinya terasa dingin dan membeku akibat ketakutan yang belum juga sirna. Ia memeluk lututnya sambil bersandar di tembok. Mulutnya sebisa mungkin tak berhenti membaca ayat kursi, walau benaknya masih berada di dinding dapur yang dipenuhi ribuan semut.

Setengah jam sudah adzan akhirnya berkumandang-tapi tidak dengan masjid di dekat mereka. Sayup-sayup lantunan panggilan shalat hanya terdengar dari kejauhan. Mereka pun melanjutkan dengan shalat subuh berjamaah. Setelah membaca Yasin bersama-sama, para sepupu menghela nafas, lalu dengan alaminya mereka kini duduk melingkar. Al-Qur'an kembali dikumpulkan dan ditumpuk di atas sofa. Om Imam dan Abang Jawad kini berbalik menghadap adik-adiknya dengan wajah yang linglung.

Di antara semua orang yang berusaha untuk tidak melirik pintu dapur, hanya Muthilah yang paling dilanda kecemasan tak berujung. Pak Aki dengan nada santainya meminta Muthi untuk berbicara dengan almarhum Pak Yanto. Dia tidak yakin dengan hal yang satu itu, mengingat baru saja mata batinnya sudah ditutup. Hal itu akan membuat komunikasi dengan 'dunia mereka' menjadi sedikit terkendala. Namun, ada satu fakta yang Muthi dan para sepupunya sadar sekarang-Pak Yanto sudah menjelma menjadi sesosok pocong.

Ali menghela nafas begitu gusarnya sampai terdengar oleh yang lain.

"Berusaha kalem apalah daya hati meronta-ronta," komen Harrir.

"Anjay," gumam Zahra menyahut ucapan kakaknya.

Mereka semua menatap kakak beradik itu dengan tajam. Namun, keduanya hanya merespon dengan wajah datar sebab tak berhasil mencairkan suasana.

Jawad berdeham. "Jadi, gimana ini, téh? Hari ini mau pulang?"

Mehri menggeleng. "Jangan. Kita harus selesein semuanya." Dia masih ketakutan akan diikuti kuntilanak berkepala terbalik yang mengikutinya selama beberapa hari terakhir.

"Kalau kita pulang dan teror ini masih berlanjut, mau gimana? Gak akan beres-beres," sambung Mytha menyetujui argumen adik iparnya.

Ada keheningan yang begitu bising di antara mereka. Muthi menggenggam ujung mukenanya dengan gelisah.

Harrir berkata, "Aa jadi makin yakin mereka sebenarnya pengen kita..."

"... melihara jin Pak Yanto," sahut Zahra dan Ali bersamaan.

Hembusan angin kencang membuat pintu belakang rumah terdengar berdecit aneh. Hawa dingin yang janggal seolah menjadi respon bahwa sosok almarhum sedang mendengar dengan saksama obrolan mereka. Para sepupu kembali mengitari seisi rumah dengan mata yang membelalak.

"Tuh, 'kan... Nyeremin.. Hayu atuh beresin..." Zahra merengek takut.

"Sebenarnya cuman ada satu orang yang bisa nge-cut semua ini," kata Tante Aya, mulai memahami inti permasalahannya. Perlahan dia menggerling kepada Muthi. Para sepupu mengikuti pandangan Tante Aya. Muthi mengangkat alis ketika semua orang kini bertumpu kepadanya.

"Bisa, Mut?" tanya Ali. Ia tak sabar ingin mendapat pemecahan atas masalah di luar nalar ini.

Muthi mengangguk dengan tak yakin. "Cuman masalahnya-kalau seandainya penglihatan aku masih berfungsi, mungkin dari denger suara panci jatuh tadi aku udah bisa tahu ada sosok almarhum di sana. Jadi kita gak perlu repot-repot ngecek ke sana," jelasnya. "Kalian 'kan tahu sendiri aku udah hidup tenang damai aman dan tentram."

BELASUNGKAWA [COMPLETED]Where stories live. Discover now