Nafisa

2.4K 251 17
                                    

Sekumpulan kodok dari kebun belakang rumah Pak Aki berkuak-kuak bersama pasukan serangga yang masih terjaga. Keributan hewan malam di pedalaman kampung terasa begitu khas. Semakin menjelang pagi, udara semakin dingin dan lembab.

Zahra sudah pasrah bila shalatnya kali ini tidak sah. Meski ada Tante Aya dan Om Imam yang sama-sama menunaikan shalat di dekatnya, namun tetap saja kejadian tadi membuatnya takut setengah mati.

Kain-kain putih di lemari itu apa ya?
Masa Pak Aki nyimpen kain kafan sebanyak itu?

Zahra menggeleng di tengah-tengah bacaan Al-Fatihahnya. Dia berusaha mengusir pemandangan buruk tadi, namun semakin ia menghindar, semakin kuat wajah sosok bermukena muncul di benaknya. Apalagi saat ia bergerak rukuk. Bacaan shalatnya menjadi kacau balau. Ia tiba-tiba terbayang, bagaimana saat berdiri i'tidal nanti sosok itu muncul di belakangnya—seperti yang tampak dalam film Makmum?

Zahra tersiksa. Meski begitu, ia bisa menghembuskan nafas lega karena tidak ada yang muncul saat menoleh mengucapkan salam mengakhiri shalatnya.

Adzan subuh baru saja selesai berkumandang. Begitu menenangkan dan mampu mengusir semua ketakutan yang baru saja terjadi. Adzan subuh yang indah, menggema di sekeliling rumah Pak Aki.

Kini, para sepupu beserta Om Imam berjalan rombongan ke masjid di depan rumah. Mereka hanya memakai sandal, melangkah sebentar dan membuka sandalnya lagi. Tak ada yang sadar bahwa tadi malam hujan gerimis sebelum menyadari tanah sedikit licin dan lengket.

Jawad memasukkan kunci ke pintu di sisi masjid, menggeser pintunya, dan menyalakan lampu. Om Imam tampak kebingungan saat sadar bahwa sedari tadi masjid masih begitu gelap, sunyi, dan belum ada tetangga yang i'tikaf. Dalam hati ia bertanya-tanya, kenapa warga belum ada yang kelihatan bersiap shalat subuh? Tapi, Om Imam bukanlah tipe orang yang banyak bertanya. Ia memilih untuk diam sampai menemukan jawabannya sendiri.

Muthi naik ke teras masjid dan menoleh sebentar ke arah rumah. Dia khawatir karena Tante Aya sendirian dan kondisinya sedang halangan. Banyak pikiran-pikiran negatif yang mulai terbayang. Tapi, Tante Aya adalah orang yang sangat logis dan pemberani. Pasti 'mereka' tidak akan berani menganggu. Bila menganggu, Tante Aya pasti tidak akan sepenakut itu.

Semoga baik-baik aja deh... ucap Muthi dalam hati lalu masuk ke dalam masjid dan mendekat ke Mytha dan Zahra. Mereka berada di bagian saf perempuan. Seketika, ia teringat bahwa Mehri tidak ikut karena masih tersisa sehari untuk suci.

Syukur deh... Jadi Tante Aya gak sendirian, ucapnya girang dalam hati.

Zahra mengigit bibir bawahnya sambil menatap kosong tirai hijau yang menghalangi wilayah jamaah ikhwan dan akhwat. Mytha menyadari kegugupan itu dan menyentuh pundak Zahra yang langsung terlonjak—amat jelas bahwa ia sedang melamun keras.

"Kenapa De?" bisik Mytha.

Zahra melirik Muthi yang terus menoleh ke belakang berulang kali, seperti terganggu akan sesuatu dari balik pintu kaca masjid. Zahra pun semakin yakin untuk berkata, "Pindah yuk jangan di sini. Bareng-bareng aja sama cowok," lirih Zahra, seolah takut ada yang mendengar.

Mytha menatap Muthi dan Zahra bergantian. Dua anak gadis itu memang terlihat ketakutan dan merasa tak nyaman berada di balik tirai hanya bertiga.

Bertiga? Ganjil dong?

Mytha mulai kepikiran hal yang janggal.

Gimana kalau ada mukena keempat?

"Yaudah yuk pindah aja. Yuk. Pindah." Mytha berkata pelan dan sangat cepat, secepat gerak-geriknya yang berubah menjadi takut.  Ia mengambil bawahan mukenanya yang belum dipakai. Dia berjalan agak cepat bersama Zahra dan Muthi yang berdempetan.

BELASUNGKAWA [COMPLETED]Where stories live. Discover now