Mereka Sudah Datang

2.4K 252 10
                                    

"Tante gak mau lihat kalian main-main permainan kayak gitu lagi. Titik." Tante Aya menyudahi peringatannya kepada kedelapan sepupu. Jawad hanya menunduk sambil manggut-manggut, merasa bersalah kenapa ia harus menyetujui usulan Harrir untuk bermain jelangkung.

"Maaf, Tante, Om..." ucap Mytha dengan tulus.

Om Imam, lelaki tinggi dengan kulit putih itu menaikkan alisnya yang tebal. Menjawab ujaran Mytha dengan isyarat, karena ia memang tidak banyak bicara.

"Yaudah, sekarang tinggal dijadiin pelajaran. Jangan lagi, ya. Janji?" tanya Tante Aya tegas.

Muthi, Harrir, Ali, Mehri, Mytha, Jawad mengangguk mantap. Akhirnya setelah obrolan singkat yang tegang itu, mereka semua berkumpul untuk makan siang.

Raut wajah mereka begitu datar. Entah mengapa, sejak kejadian tadi malam, tatapan mereka menjadi kosong dengan pikiran yang tidak jernih.

Muthi terus berkernyit linglung. Kejadian tadi malam membuatnya merasakan sensasi yang tidak menyenangkan. Melihat sosok Cahari bersama-sama memang terdengar mustahil, tapi itu benar-benar terjadi.

Muthi bertanya-tanya dalam diam.

Apakah mereka bermain selama itu sampai pagi tiba?

Namun, tak dapat dipungkiri, mereka semua sudah melewati peristiwa astral yang tak masuk akal.

"Tante sama Om tidurnya di kamar nenek, ya. Kamar depan udah berdebu banget dan gak ada kasur. Kita gak kuat untuk beres-beres hari ini," kata Mytha di tengah-tengah makan siang. Wajahnya tampak lemas dan pucat.

Tante Aya mengangguk, ia sudah kembali ramah seperti biasanya. "Iya gak apa-apa, Beb. Istirahat aja dulu. Banyakin dzikir," jawab Tante Aya lembut.

"UEEEEEKKK!!!" Tiba-tiba Harrir membungkuk begitu dalam. Cairan berwarna cokelat dan makanan yang belum dicerna oleh lambungnya memenuhi lantai di dekat meja makan.

Zahra melepaskan sendok dan garpunya dan mengusap punggung kakaknya. "Aa..." lirih Zahra sangat khawatir.

"Ambil lap," perintah Mytha kepada Mehri.

Gadis itu pun berdiri meninggalkan ruang makan. Ia berjalan ke dapur dengan perasaan tak karuan. Mehri terus melangkahkan kaki ke lemari tempat lap dan kain-kain yang disimpan di sana.

Ia berjalan dan terus berjalan. Lemari itu jaraknya terasa jauh sekali. Telinganya seperti ditekan oleh sesuatu. Punggungnya berat, dan ia merasa rambutnya terasa panjang, gatal dan bahkan sampai menyentuh pinggangnya.

Tapi Mehri berusaha fokus dan tak menghiraukan sugesti itu.

Ia akhirnya mengambil lap dan kembali ke ruang makan. Harrir sedang menelungkupkan kepalanya di atas meja makan. Piringnya masih menyisakan beberapa sendok nasi.

Mehri mulai membersihkan muntah Harrir.

"Gak usah, Teh," gumam Harrir.

"Berisik," jawab Mehri tak menghiraukan perkataan Harrir.

Zahra menyentuh dahi kakaknya itu. "Panas banget," ujar Zahra sambil menatap Mytha dan Tante Aya.

"A, Aa tidur sekarang di kamar. Biar Tante cari Paracetamol di kotak obat," sahut Tante Aya lalu beranjak dan mencari obat yang dimaksud.

Zahra meminta bantuan Ali untuk memapah Harrir ke kamar, karena tubuhnya begitu lunglai dan tak bertenaga.

"A sadar A. Jangan sakit," kata Ali menguatkan dengan suaranya yang berat. Mereka bertiga pun memasuki kamar tamu, membiarkan Harrir istirahat.

Muthi mengatupkan bibirnya sambil mengunyah dengan gundah. Ia berusaha untuk tidak melihat sekeliling dan bertahan agar fokus makan saja.

Tapi sesuatu membuyarkannya.

Tante Aya sudah menggenggam tablet obat seraya melangkah ke kamar tamu. "Teh Mehri wangi banget," katanya sambil melewati Mehri yang masih mengelap lantai.

Mytha, Jawad, Muthi dan Om Imam saling melirik satu sama lain. Mytha mengendus-endus Mehri yang berdiri di sebelah kursinya.

"Iya wangi," ujar Mytha setuju. "Wangi bunga. Tumben Teteh pake parfum."

"Hah? Sejak kapan Teteh suka pake parfum?" Jawad yang sangat mengenal adiknya itu ikut berkomentar.

"Teteh gak pake parfum," sahut Mehri pelan mengejutkan semua orang.

"Wanginya kecium, loh, Teh," kata Muthi panik. Matanya kini malah mencari apakah ada sesuatu yang tidak beres di sekitarnya.

Mehri menggeleng. "Suer! Teteh gak pake parfum," tuturnya yakin.

Tante Aya sudah kembali dari kamar tamu dan langsung berkata, "Ini wangi melati, sumpah!"

Tiba-tiba hening. Tante Aya ikut terpaku. Mereka tersadar bahwa wangi itu pasti bukan pertanda baik.

"Teh," panggil Muthi setelah melihat sesuatu di belakang Mehri. "Teteh lagi halangan?"

Mehri mengangguk pelan. "Iya."

Tante Aya menepuk tangannya sekali, guna mencari topik agar mereka semua tidak ketakutan. "Mendingan sekarang kita nonton film aja dan lupain kejadian semalem. Dah, dah. Cepetan habisin makannya," ujarnya.

Mau tak mau, Muthi dan yang lainnya menuruti perintah Tante Aya. Setelah selesai makan, mereka semua duduk di depan TV besar di ruang tengah, sambil menunggu Om Imam memasang flashdisk berisi film-film seru--kecuali Harrir yang sedang beristirahat karena tubuhnya demam tinggi, dan Zahra yang menjaga kakaknya di kamar tamu.

Tante Aya terus mengobrol bersama Mytha dan Muthi mengenai segala hal. Suasana berangsur-angsur membaik, tak ada satu orang pun yang mengungkit-ungkit kejadian semalam.

Mereka maraton sebuah film berseason. Hingga tak terasa, waktu malam sudah datang.  Suara jangkrik di kampung yang masih sepi ini membuat suasana kembali mencekam seperti malam-malam sebelumnya.

Om Imam meregangkan otot tubuhnya dan menekan tombol di remote. Folder film yang tertera di layar televisi berganti menjadi sinetron di salah satu saluran swasta.

"Main?" ajak Ali.

"Gak mood," sahut Jawad.

"Yah, elah. Terus sekarang mau pada ngapain?" tantang Ali.

"Tidur," jawab Muthi.

Ali mendelik. "Ah, gak asik," sahutnya.

Tante Aya dan yang lainnya tertawa melihat Ali yang seolah bete setiap saat. Akhirnya, mereka semua bermain ponsel masing-masing untuk mengalihkan perhatian dari hal yang tidak-tidak.

Mehri yang bosan pun memilih untuk masuk ke dalam kamar tengah dan menggelar karpet di sebelah ranjang yang tak berkasur. Aroma kayu dan debu menusuk hidungnya, tapi ia tidak merasa risih dengan itu.

Mehri membuka laptopnya, mengotak-atik sesuatu sampai akhirnya ia bosan dan mendengarkan lagu. Earphonenya menyalurkan nada-nada lirik yang sedang dinyanyikan. Mehri menggoyangkan kepala ke kanan dan ke kiri. Menikmati waktu sendirinya dengan mendengarkan lagu-lagu favoritnya.

Sementara itu, Jawad menaruh ponselnya setelah selesai melihat sosial medianya. Ia mengusap wajah dan membetulkan rambut gondrongnya, lalu tidur terlentang menatap langit-langit rumah nenek.

Ia melamun cukup lama, memikirkan segala hal yang telah ia lewati di rumah ini selama hampir seminggu.

Lama-lama, kelopak matanya terasa berat. Hingga akhirnya, Jawad terlelap di atas karpet ruang tengah. Samar-samar suara televisi kian terdengar menjauh. Ia kini terpejam sepenuhnya. Terlelap dan menyesali mengapa ia harus ketiduran di sana.

BELASUNGKAWA [COMPLETED]Where stories live. Discover now