Cahari

2.6K 264 12
                                    

Kedelapan sepupu makan malam pukul delapan. Setelah selesai, mereka sama-sama setuju untuk tidak bermain papan permainan dulu. Seperti biasa, mereka duduk melingkar di tengah rumah. TV sengaja dinyalakan walau sedari tadi hanya menayangkan iklan-iklan komersial. Nafisa sibuk mengacak-ngacak monopoli Blackpink. Yang lain diam menunggu sembari memeriksa ponsel masing-masing, saling membalas chat dengan teman-teman di kota. Baik Muthi, Zahra, Jawad dan Mytha, dengan cepat mereka melupakan kejadian tadi siang. Mereka terus berusaha untuk berpikir tenang walau sejuta pertanyaan masih belum terjawab.

Mereka pun sudah membaca Yasin untuk Almarhum Pak Yanto, dan berdoa semoga tak ada kejadian yang mengerikan lagi setelah ini. Sudah berhari-hari ini mereka merasa tenang. Hanya kejadian yang menimpa Zahra, Mytha dan Jawad saja--itu pun dijadikan rahasia karena mereka yakin sepupunya yang lain tidak mengetahui hal itu.

"Nonton film aja," ajak Ali. Ia sudah siap membuka website rekomendasi film horror di ponselnya.

Muthi berpikir sejenak. "Apa aja yang belum kita tonton?"

"Kabadook udah nonton belum sih?" celetuk Zahra.

"BABADOOK!" Harrir berteriak tepat di sebelah telinga Zahra.

"Kabaduk kabaduk³³ bibir-bibirmu," ejek Muthi. Zahra mendelik.

Ali mulai menyentuh layar ponselnya, mencari penilaian film. "Hmm.. Ready or not?"

"Sadis. Anak kecil gak boleh nonton," ujar Mehri, melirik Zahra, Muthi, Harrir dan Ali satu persatu. Tak ada yang tersinggung.

"Balbal..bulb-BULBBUL?!" tanya Ali keras.

"Gak usah ngegas kali," Harrir terkekeh.

"IYA MAU GAK?!" Ali memburu-buru, ia tak suka membuang-buang waktu. Mereka belum pernah mendengar film yang satu itu. Ali pun menjelaskan sinopsisnya. Tak ada yang tertarik. Ali kembali mencari, ia ingin sekali menonton film horror.

"Jaga pocong?" tanya Zahra tiba-tiba.

Angin berhembus dingin. Harrir dan Ali saling tatap penuh arti. Ali buru-buru menyebutkan judul film yang lain. "Slender man... escape room... bird box.. udah nonton semua nih".

Zahra menyentuh bibirnya sekejap. "Oh hehe jangan disebut, ya. Maap," kata Zahra memperjelas, lalu pura-pura membetulkan posisi duduknya. Ia hanya mencoba untuk menyebutkan salah satu film horror Indonesia. Namun, Ali masih sedikit teringat dengan kejadian ketika di makam, walau sudah sepenuhnya baik-baik saja. Berbeda dengan Harrir yang sudah sepenuhnya melupakan kejadian waktu itu dan malah menganggapnya pengalaman yang lucu.

Jawad duduk tegak, ia nyengir lebar setelah mengingat sesuatu di kepalanya. "Denger kata pocong, Abang punya cerita hantu yang kalian gak tahu. Dulu pas kalian belum pada lahir, waktu itu Mehri masih kecil."

"Ohhh, Teteh pernah kecil?" Harrir meledek. Mehri hanya menatapnya datar, tak menunjukkan reaksi apa pun. Gadis itu tak terganggu sama sekali. Yang lain hanya tertawa menanggapinya.

"Emang gimana ceritanya?" Muthi bertanya penuh antusias. Semua orang mendekat berdempetan, hingga lingkaran menjadi lebih kecil.

"Pengalaman asli pas Abang umur delapan tahun. Sama Ibu nginep di sini, bareng Teteh juga soalnya Ayah lagi ke Palembang," kata Jawad. Mytha pun mendengarkan, sepertinya ia tahu Jawad akan bercerita soal apa. "Waktu itu pas banget lagi ada yang baru meninggal. Namanya...." Jawad terhenti, lalu menoleh pada Muthi yang duduk di sebelah Mehri. "Sebutin jangan?"

Dahi Muthi bertaut. "Kenapa nanya ke gw?"

"Yaaa siapa tahu, tahu." Jawad menyahut.

"Terserah sih. Cuman kalau dateng gak tanggung jawab," ucap Muthi santai. Zahra menelan ludah.

"Okelah," lanjut Jawad. "Namanya Cahari--Almarhum Cahari. Dia anak Bu Suci yang sering ngobrol sama nenek kalau beli sayur. Kalau gak salah Cahari meninggal gara-gara ngebenturin kepalanya sendiri ke tembok."

"Hah?" Harrir mengangkat alis.

"Tapi bukan bunuh diri. Kalau cepet ditanganin mah pasti dia bisa pulih," kata Jawad, menggerakkan kedua jarinya seperti tanda kutip. Semua ber-'ooh' menyadari bahwa Cahari, menderita gangguan jiwa. Jawad pun bercerita, bahwa Cahari sering terlihat mengamuk dan menangis sendiri. "Gak ada yang tahu dia kenapa. Karena dia terlahir dari keluarga yang baik-baik aja. Entah apa masalah aslinya. Cenah diguna-guna tapi gak tahu. Mungkin emang lagi sakit medis."

Mytha bergidik. Topik soal ini memang paling membuatnya ngeri.

Jawad pun bercerita kembali. "Setelah Almarhum Cahari dikubur, tiba-tiba di sekitar sini geger ada yang ngetuk-ngetuk pintu rumah warga tapi gak ada orangnya. Terkenal dengan sebutan teror pocong keliling. Viral banget di sini."

Zahra refleks memegang lengan Harrir. "Sambil ngucapin salam gak, Bang?" tanya Zahra was-was.

Jawad bergeming sejenak lalu menggeleng. "Enggak. Bukan ngetuk yang waktu itu kita denger. Dan gak ngucapin salam juga. Tapi lebih ke bug bug bug! Kayak badan yang dipake buat ngetuk ke pintunya. Dan selalu di atas jam 10 malem." Jawad menghela nafas sejenak. Semua membayangkan suara tersebut, terasa mencekam.

"Bagian yang paling Abang gak bisa lupa itu pas terornya sampai ke rumah Pak Aki. Ngetuk-ngetuk keras pisan. Jam 11 malem, muringkak saawak-awak³ itu mah. Ibu meluk Mehri, Abang dipeluk nenek. Pak Aki coba ngintip dari jendela. Gak ada siapa-siapa."

"Terus?" tanya Ali tak sabar.

"Tapi besoknya, Pak Aki sama Ustadz Aceng langsung ngedatengin rumah Bu Suci. Abang maksa ikut ngekor di belakang Pak Aki. Ternyata warga setuju buat ngebongkar makam Cahari yang udah tiga hari dikubur. Kasihan Bu Suci, nangis pas kuburannya dibongkar."

"Kok dibongkar?" Zahra bertanya pelan dan takut, cengkeramannya di lengan Harrir semakin kencang.

Jawad melirik satu persatu sepupunya. "Teror pocong keliling itu emang ada. Abang baru ngerti pas makam Cahari dibongkar, ternyata tali di kepala, leher dan perut mayatnya belum dibuka. Itu alasan kenapa Cahari keliling kampung sambil gedor-gedor pintu." Jawad berkata keras-keras. Ali mengusap tengkuknya, membayangkan sosok berkain kafan mengetuk rumah warga membuatnya merinding.

"Dan setelah itu, teror pocong keliling pun berhenti. Selesai..." Jawad mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan melambai. "Seru euyyy!"

Tapi tidak dengan tujuh adik sepupu Jawad yang kini bungkam seribu kata. Tak ada yang berani bereaksi apa-apa lagi. Muthi melirik kanan kiri memastikan tak ada yang datang.

"Dateng gak?" Pertanyaan Harrir diiringi suara menahan nafas dari yang lainnya.

Muthi menggeleng pelan. "Kayaknya... enggak."

Mytha menghela nafas. "Yuk ah kita seru-seruan aj--"

JEP!

TV mati.

Semua saling tatap.

"Aaaa-" Dengan cepat Harrir menutup mulut Zahra sebelum teriakannya semakin melengking.

Mehri siap-siap menggenggam tubuh siapa pun yang akan berlari di depannya.

"Hahahaha maaf gak sengana remotnya kepencet lutut Abang," Jawad mengangkat remot di tangannya.

"YEUUH!" sorak semua, melempari Jawad dengan bantal yang sudah menghangat karena didekap dalam waktu yang lama. Jawad pun menyalakan lagi tombol remot dan TV pun menyala. Suaranya menemani keheningan malam mereka di ruang tengah.

Harrir berdeham. "Kurang asik ceritanya."

"Emang punya cerita yang lebih serem?" tantang Muthi.

"Cerita yang tadi aja cuman kita bikin lebih serem lagi," ucap Harrir.

Diam-diam Ali mengedikkan kepala pelan kepada Harrir. Harrir mengerti, lalu mengatakan, "Enggak kok. Bukan pengalaman yang kemarin-kemarin."

"Terus?" tanya Ali. "Ngomong naon sih A tong ngaler ngidul³!"

Harrir mengusap wajahnya, cukup yakin bahwa suasana telah kondusif dan hal-hal aneh di sekitar mereka sudah tak lagi bermunculan. Jiwa jahilnya mulai merangkak keluar.

Harrir pun berkata, "Kita panggil Cahari."

BELASUNGKAWA [COMPLETED]Where stories live. Discover now