Suara Deruman Motor

4.5K 357 22
                                    

Telinga Harrir menangkap samar-samar suara deruman motor dari kejauhan. Bola matanya bergerak-gerak perlahan, namun kelopaknya tak kunjung membuka juga. Hening sekali di sini. Udara dingin menyentuh telapak kakinya yang tidak ditutupi selimut. Harrir pun menendang-nendang untuk menaruh selimut yang tersingkap di atas kakinya.

Namun yang ia dapatkan adalah tendangan yang lebih keras. Harrir terbangun sekaligus dan duduk. Ternyata, Ali baru saja menendang kakinya.

"Yee kirain apaan!" keluh Harrir, menendang kaki Ali sekali lagi. Tidur mereka berdua sungguh berantakan. Kaki dimana, kepala dimana.

Ali mengangkat tangannya tinggi-tinggi, meregangkan otot-ototnya. "Enak gini menguliat."

"Yang bener kalo ngomong. Sunda Sunda sekalian, Indo Indo sekalian." Harrir memperingatkan.

"Berisik!" jawab Ali. Harrir menggeleng, heran dengan kelakuan sepupunya yang satu itu.

Harrir tersadar bahwa orang-orang sudah bangun lebih dulu. Kecuali Nafisa yang masih tertidur di sana. "Jam berapa sih ini?" tanya Harrir, menyalakan ponselnya untuk menatap jam.

"Ya Allah, Li! Jam lima seperempat!" ujar Harrir panik.

Ali langsung terduduk. "Berarti udah shubuh dong?"

"YA IYA!" seru Harrir. Mereka berdua pun bergegas berdiri dan mengambil wudhu. Lalu mereka melaksanakan shalat subuh dan bergabung bersama yang lainnya di ruang tengah.

"Kok gak ada yang bangunin, sih?" tanya Harrir seraya memeluk tubuhnya sendiri karena kedinginan.

"Orang tidurnya sampai mangap gitu. Gak tega banguninnya," sahut Jawad yang sedang ngemil biskuit.

"Nah Ustadz Heri Junior udah bangun," ujar Mytha yang baru saja datang dari dapur.

"Anak Pak Rizal juga," sahut Muthi. Ali yang merasa terpanggil melirik tajam.

"Diam kau, Pak Yudi!" seru Ali, mengundang gelak tawa dari sekitarnya.

Ali dan Harrir ikut duduk melingkar di depan TV. Semua masih berada dalam keadaan antara sadar dan tidak sadar. Beberapa masih mengantuk, bahkan Zahra terus menerus menguap.

"Ntar jam tujuh tidur lagi bentar yuk," ucap Zahra memecah keheningan.

"Ngantuk gini," sambung Mehri. Matanya tampak bengkak seperti kelelahan.

"Ada yang berisik di kamar." Nafisa yang baru saja terbangun tiba-tiba saja sudah berada di belakang Harrir.

"Hah?" Ali tak bisa menangkap maksud Nafisa.

"Berisik... Ada yang ngorok di sebelah Nafis," jawab Nafisa dengan suara yang serak.

"Hah, ngorong⁶?" Harrir menyahut, disambut Nafisa dengan jambakan keras dirambutnya.

"Lu tadi ngedengkur gak pas tidur?" tanya Mehri kepada Ali.

Ali yang merasa tertuduh menggerutu. "Dih enak aja. Orang Nafis dari tadi belum bangun pas kita shalat juga. Ya gak A?" Ali menyikut lengan Harrir. Harrir mengangguk sebagai jawaban.

"Ngorok gimana, sayang?" Mytha mencoba meminta penjelasan.

Nafisa menunjuk kamar. "Denger aja."

Muthi dan Zahra yang penasaran duluan, kini berdiri dan masuk ke dalam kamar. Namun, Nafisa memilih untuk tidak ikut.

Sesampainya di kamar, Zahra menatap sekitar. "Kok merinding, sih?" ucapnya lalu mengusap-usap lengan.

Muthi bergeming. Ia sedang memasang telinganya untuk mendengar suara mendengkur yang dikatakan Nafisa.

BELASUNGKAWA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang