Tumbal Ilmu Hitam

2.8K 267 39
                                    

Jenazah itu terbaring di tengah rumah. Kain samping menutupi tubuhnya sampai dada. Kafan putih membaluti seluruh anggota badannya. Tali pocongnya longgar, wajah pucatnya tidak terhalang apapun.

Muthi, Harrir, dan Mehri terpaksa melangkah sedikit demi sedikit memasuki rumah Pak Yanto. Tak ada yang sadar Ali sudah menghilang entah kemana. Mereka berjalan berdempetan. Perasaan ketiga anak kecil itu sukar dijelaskan. Di satu sisi, batin mereka berkecamuk enggan melanjutkan langkah. Namun, ucapan Ki Sugeng yang meminta mereka menyelesaikan apa yang telah mereka mulai berhasil mengalahkan keengganan yang janggal.

Mehri sempat membuka mulut, hendak mengucapkan sesuatu namun urung. Muthi menganga saat berdiri di sebelah jenazah Pak Yanto. Harrir meringis, ia membuang muka, tak berani untuk menatap lebih lama.

Wajah Pak Yanto kaku... Sekaku-kakunya. Mulutnya membuka lebar, hingga gigi bawahnya yang hitam terlihat jelas. Matanya melotot. Pupil hitamnya sedikit bergerak-gerak sambil memandang langit-langit rumah. Tidak ada aroma busuk yang muncul dari pori-pori mayat yang masih setengah sadar itu. Yang tercium semacam aroma yang aneh, seperti campuran arang, kemenyan, kapur barus, dan bunga sedap malam yang sungguh menyengat.

"Pak Yanto..." Mehri memanggil dengan pelan dan serak.

Mata Pak Yanto kini bergerak, melirik Mehri dengan susah payah.

Mehri tersentak. Ia tidak menyangka pemandangannya akan jauh lebih menyeramkan. Jenazah itu kemudian mengeluarkan suara tercekik dan tertahan. Ia hendak mengatakan sesuatu namun sama sekali tidak keluar sepatah katapun. Yang terdengar hanya suara kepayahan, tenggorokan yang bergetar karena air liur yang menggenang, dan dengkuran mengerikan yang mengiris hati.

Ketiga anak tersebut berpikir keras, terdiam kaku, tidak tahu harus berbuat apa. Aura rumah Pak Yanto begitu dingin dan kelam. Ruangan-ruangan kamar di sekitar mereka seolah menyimpan sesuatu. Lukisan dan benda-benda keramat menyaksikan pergerakan orang-orang di sana. Hingga pada akhirnya, Mehrilah yang berjongkok di samping jenazah itu. Sebab, Pak Yanto sudah terlanjur memandangnya cukup lama.

"La ila ha ilallah.." Mehri berbisik lirih. Ia memilih untuk tidak mendekatkan bibir terlalu dekat ke telinga jenazah Pak Yanto. Bau dupa yang menyengat semakin menusuk hidungnya.

Pak Yanto berjengit keras. Seperti gerakan terkejut yang sangat tiba-tiba.

"La ilaha ilallah..." Muthi terduduk di dekat perut Pak Yanto-yang tubuhnya lagi-lagi tersentak begitu keras. Jenazah itu kini mengalihkan lirikannya menuju Muthi. Mulutnya masih menganga, dengan bibir pucat dan lingkar hitam di sekitar mata.

"Ggr.... Grr.. kkh... hkk..." Pak Yanto amat kesusahan untuk mengungkapkan sesuatu.

Mereka bertiga merasakan ada bayangan hitam yang mengintip dari gorden dapur. Muthi menoleh. Dilihatnya sesosok yang perawakannya mirip sekali dengan jenazah di depannya. Hanya saja, kain kafan yang membalutinya berwarna hitam pekat. Mata, hidung, dan mulutnya tidak terlihat sama sekali, hanya berbentuk bayangan hitam legam. Muthi mengira sesosok pocong hitam itu tidak memiliki wajah.

"ALAH SIAH, APA ITU?!" Tidak disangka, Harrir berteriak panik sambil menunjuk pocong yang kini setengah badannya semakin terlihat.

"AA IH!" Muthi menarik paksa tubuh Harrir yang mulai gemetar hebat. Harrir terduduk, ia langsung menggigil. "Itu pocong.... pocong hitam..."

"Ssstt!" Mehri menaruh telunjuk di bibirnya. "Udah diem. Bantu talqin almarhum aja!" Mehri mendelik kesal, tapi tidak mau melirik ke arah jenazah di depannya.

"Gak bisa..." Harrir mulai meneteskan air mata. Wajah polosnya mengernyit takut. "Gak mau.."

"AI MANÉH ISLAM LAIN?!" Muthi melotot marah. Ia sudah tidak tahan dengan sikap sepupunya yang menyebalkan. Harrir semakin sesegukan dibuatnya.

BELASUNGKAWA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang